Aku tidak begitu ingat
kapan tepatnya aku benar-benar mencintai aktivitasku sebagai anggota Pemuda
Pecinta Alam, tetapi aku masih ingat penyebab yang menjadikan diriku
mencintainya. Padahal dahulu aku tidak terlalu suka dengan hal-hal semacam ini,
selain karena tidak sesuai dengan jurusan kuliahku, aku merasa ini bukan
sesuatu yang menguntungkan bagiku. Toh, sudah ada instansi pemerintah yang
mengurusi hal-hal seperti ini. Aku sebagai anak muda tugasnya menikmati hidup.
Ah, betapa sempitnya cara berpikirku dulu. Bagaimana jika semua pemuda di
negeri ini berpikiran sama denganku? Tak bisa kubayangkan apa yang terjadi
dengan bumi ini bila hal itu tidak segera ditanggulangi sejak dini.
***
“Ris,
minggu depan kampus kita mengadakan jelajah alam menyambut hari Bumi sedunia,
ikut yok.” Alan sang aktivis pecinta alam menghampiriku yang sedang memarkir
motor di parkiran kampus.
“Hmmm,
Maaf Lan aku gak bisa deh kayaknya. Soalnya minggu depan aku mau nonton konser musik.
Lagian aku gak suka jelajah alam. Jelajah kok ke alam, ke mall donk. Hehehe.”
Aku menolak ajakan Alan. Aku memang tidak begitu suka jelajah alam, mendaki
gunung dan segala yang berkenaan dengan itu. Selain tidak menarik bagiku,
kegiatan itu membuatku teringat dengan paman Gun.
“Ris..
ris... kamu ini ada-ada aja. Jelajah alam itu lebih banyak manfaatnya dibanding
jalan-jalan ke mall. Kita bisa
menikmati indahnya ciptaan Tuhan yang Maha Kuasa, menghirup udara segar tanpa
polusi, mendengar nyanyian alam yang meneduhkan hati.” Alan mulai mencoba
mempengaruhiku, menggoyahkan hatiku untuk ikut bersama komunitasnya dan
membatalkan agenda nonton konser musik yang sudah kutunggu-tunggu sejak lama.
Oh, tidak... tidak mungkin aku tergoda.
“Lain
kali aja ya Lan. Eh, aku permisi dulu ya, ada kelas nih. Byeee...” aku bergegas meninggalkan Alan yag terbengong-bengong.
Mungkin dia merasa aku adalah orang yang paling sulit untuk dirayu.
Aku
heran dengan anak-anak pecinta alam di kampusku ini. Apa sih yang membuat mereka
rela bercapek-capek ria mendaki gunung, masuk-masuk ke hutan, kalau nyasar
gimana? Belum lagi kalau berkemah, harus bawa ini-bawa itu, tidur di tanah,
banyak nyamuk, gak ada sinyal, gak bisa internetan. Ribet. Aku jadi ingat
dengan kebiasaan paman Gun, anak tertua dari keluarga ayahku. Ia tak pernah mau
diajak tinggal di kota. Katanya, pohon-pohon di sini akan kesepian bila tak ada
dirinya. Setiap pagi, ia akan berlari-lari menyusuri bukit-bukit,
mengelus-ngelus pohon-pohon yang dijumpainya. Bila malam tiba, ia akan patroli.
Menurutnya, di malam hari banyak yang mengganggu pohon-pohon. Dan yang paling
aneh adalah aku pernah memergoki paman Gun berbicara dengan sebatang pohon,
seolah ia sedang berbicara dengan seseorang. Terkadang ia tersenyum seperti
orang yang tengah jatuh cinta, terkadang ia menangis bila melihat ada
goresan-goresan yang melukai batang pohon itu. Ngeri aku melihatnya. Aku
berpikir mungkin paman Gun memiliki kelainan. Penduduk desa pun berpendapat
sama denganku. Mang Udin, si penggembala sapi pernah melihat paman Gun
bertingkah aneh pada pohon-pohon. Hal ini tak pernah kuceritakan pada Ayah. Aku
takut Ayah akan marah.
Ah,
paman Gun... Ada apa dengan dirimu?
***
Pagi
yang dingin menggigit tulang-tulangku. Seusai sholat subuh aku kembali menarik
selimut tebalku, suasana dingin merayuku untuk tidur dan terhanyut dalam buaian
mimpi. Baru saja aku merebahkan tubuh di kasur yang empuk tiba-tiba terdengar
suara gaduh dari ruang tengah. Kudengar suara Ayah dan Bunda berbincang dengan
nada panik setelah mendengar berita di televisi pagi ini. Kemudian terdengar
teriakan adik bungsuku yang masih duduk di sekolah dasar memangil-manggil nama
pamanku, menambah sempurnanya kegaduhan di rumah kami. Ada apa sih? Apa ada
meteor yang jatuh ke bumi sehingga seisi rumah harus gaduh di pagi ini?
Aku
dengan malas bangun dari tidurku, melangkah menuju ruang tengah.
“Ada
apa sih pagi-pagi udah ribut?”
”Pagi
ini kita harus berangkat ke desa, Ris.” Ayah menjawab pertanyaanku.
“Iya
nak, kita harus melihat kondisi paman
Gun dan keluarganya,” Bunda menambahi jawaban Ayah.
“Lho?
Kok mendadak, Bun? Kemarin kan gak ada rencana mau berkunjung ke sana?” Wah,
bisa gawat ini. Agenda nonton konser musik terancam batal!
“Coba
lihat berita itu.” Ayah memperbesar volume televisi agar aku yang masih belum
ngeh ini mengerti maksud Ayah dan Bunda.
“Pemirsa, tadi malam tepat pukul 23.00
terjadi longsor di desa Suka Hijau. Dari informasi yang kami terima tidak ada
korban jiwa akibat bencana ini namun ratusan rumah rusak. Pemerintah setempat
menghimbau masyarakat untuk segera mengungsi karena dikhawatirkan akan terjadi
longsor yang lebih besar. ” Reporter
itu terus saja melaporkan berita terkini dari tempat kejadian, sesekali layar
televisi menampilkan cuplikan video yang berhasil mereka liput.
Cuplikan
berita ini cukup membuatku mengerti mengapa pagi ini seisi rumah menjadi gaduh
dan kini pikiranku pun ikut gaduh. Aku mulai berpikir bahwa longsor itu bukan
saja menjadi bencana bagi penduduk desa suka hijau tapi juga menjadi bencana
bagiku karena kemungkinan besar paman Gun akan tinggal sementara di rumah kami.
Oh tidak..!!
***
Ini
kali pertama longsor terjadi di desa ini. Aku tak habis pikir. Apa penyebabnya?
Bukankah desa yang terletak di kaki gunung ini begitu hijau sesuai dengan
namanya? Ya setidaknya begitulah keadaan desa ini 10 tahun yang lalu.
“Mengapa
bisa longsor, yah? Bukannya desa ini ditumbuhi banyak pepohonan?” tanyaku
kepada Ayah yang sedari tadi berkonsentrasi mengemudi mobil.
“Itu
dulu Ris, sekarang sudah berubah.” Aku mendengar ada nada sedih dari suara Ayah.
“Dulu
alam menyuguhkan hamparan pepohonan hijau yang terbelah oleh sungai yang mengalir
bening, kicau burung menyanyikan suara alam dan udara sejukpun menambah
keteduhan desa. Dari kejauhan, kita bisa melihat bukit-bukit hijau yang
menjulang”
Ayah
menghela nafas.
“Sekarang,
desa sudah gersang, Ris. Coba kamu lihat tulisan besar di bukit itu. Kamu masih
ingat gak, dulu tulisan itu bertuliskan “Sejuta Pohon” sekarang sudah berganti
menjadi “Villa Asri”
Hmmm,
benar kata Ayah. Ternyata panorama indah itu tak bisa lagi kami nikmati.
Sekeliling tidak lagi hijau tapi berubah menjadi gundul karena pembakaran hutan
secara besar-besaran. Mungkin untuk membuka lahan baru atau mungkin untuk
pembangunan villa-villa yang katanya asri itu. Tak ada lagi kicau burung yang
menentramkan, yang ada hanya tangisan alam. Benarlah, semua tinggal kenangan.
Pemandangan
menjadi semakin mencekam ketika kami sampai di lokasi kejadian. Longsor telah
meluluhlantakkan seluruh desa ini. Banyak rumah-rumah yang rusak diterjang
longsor, sebagian dari villa-villa itupun roboh. Aku jadi ngeri sendiri.
Bagaimana jika bencana ini terjadi di kota tempat tinggalku? Mungkin dalam
wujud lain, banjir dahsyat misalnya? Aku jadi teringat dengan sungai yang
terletak di tengah kota tempat tinggalku, bagaimana jika ia mengamuk karena
banyaknya sampah yang dibuang ke badan sungai, ditambah lagi tidak adanya
daerah peresapan air hujan sementara sungai tak mampu menampung curahnya yang
deras? Maka statusku dan seluruh penduduk kota berubah menjadi “pengungsi” dan
bisa dibayangkan betapa tidak nyamannya menyandang status itu. Hiiiiii, ngeri
aku.
Alhamdulillah,
paman Gun dan keluarganya selamat dari bencana. Tapi, rumahnya telah hancur
lebur dihantam longsor.
“Alam
telah murka, karena pesonanya telah dihancurkan! Karena tempat tinggalya telah
direnggut oleh orang-orang yang rakus!” Paman Gun menangis dalam pelukan
ayahku. Aku mulai iba dengan keadaannya.
Apakah ini yang membuatnya begitu mencintai pepohonan sehingga ia harus menyusuri
hutan di pagi hari? bila malam, ia harus berkeliling menjaga dan memelihara
kelestarian pohon dari para penebang liar? Dan..dan.. selalu berbicara dengan
pohon-pohon? Ah, inikah yang membuat kami menganggapnya aneh? Setelah melihat bencana ini, siapa yang pantas
disebut aneh? paman Gun atau aku dan para penduduk desa?
Ah,
aku baru tahu, bahwa cinta itu tak sederhana. Tak sesederhana anak-anak muda
memaknai cinta. Ia bahkan lebih dahsyat dari itu, ia mengakar hingga ke hati
yang paling dalam hingga sakit yang dirasakan oleh kekasihnya seakan-akan ia merasakannya
pula. Ternyata selama ini yang dilakukan paman Gun adalah bentuk kecintaannya
kepada alam ini. Ia begitu mencintai pepohonan, mencintai alam hijau yang
membentang luas. Selama ini ia merawat dan memelihara kelestarian alam dengan
sepenuh cinta. Namun kini, alam telah murka.
Longsor ini menjadi bentuk kemurkaannya.
Ah,
Paman Gun... maafkan aku yang terlalu picik memaknai cintamu sebagai sebuah
keanehan.
Dalam
perjalanan pulang, seisi mobil tenggelam dengan pikirannya masing-masing.
Begitupun aku. Aku terus berpikir bagaimana caranya agar cinta paman Gun
kembali merekah. Bukan hanya itu, bagaimana agar cinta kepada alam ini juga
dirasakan oleh banyak orang. Semakin banyak orang yang merasakan cinta ini maka
kelestarian pepohonan akan semakin terjaga. Dan yang terpenting ia tidak lagi
murka. Mungkin kali ini murkanya hanya berwujud longsor berskala kecil. Lalu
bagaimana jika kondisi ini semakin parah? Longsor yang dahsyat misalnya? Atau
banjir bandang yang menghancurkan kota? Kemarau berkepanjangan sehingga tidak
ada lagi pasokan air untuk manusia sehingga secara perlahan manusia mati
kekeringan? Atau tidak ada lagi oksigen yang aman untuk dihirup maka semua
orang harus membeli oksigen dengan harga mahal? Ooooh tidaaak!!!
“Ada
apa, Ris?” tanya Ayah. Ternyata aku menjerit cukup keras.
“Eeeh,
hehehe. Hmm, gak ada apa-apa yah.” Aku jadi malu sendiri. Imajinasiku mungkin
terlalu tinggi, tapi lebih baik begitu daripada semua itu benar-benar terjadi.
Aku harus melakukan sesuatu.
***
Sudah
seminggu paman Gun dan keluarganya tinggal di rumahku. Beliau masih saja
bersedih dan sering termenung sendirian. Aku belum juga menemukan ide yang
tepat untuk menyelesaikan masalah ini, padahal aku sudah memutar otak untuk
mencari penyelesaiannya.
“Yang
ini aja kak, yang ini lebih besar.” Aku mendengar suara adikku yang sedang
bermain di pekarangan rumah dengan kedua anak paman Gun.
“Eh,
iya yang itu aja, kalo kalengnya besar kan isinya bisa lebih banyaaaak,” sahut
Nina, adik sepupuku yang paling besar. Kemudian terdengar suara kaleng yang
diseret menuju dapur.
Sedang
apa mereka?
Aku
yang penasaran bergegas menuju dapur.
“Untuk
apa kaleng-kaleng itu, Nay?” Adikku yang sedang memeluk kaleng bekas itu
terkejut mendengar suaraku.
“Eh,
mas Faris ngagetin aja! Ini kalengnya mau Nay pake buat ngumpulin koin, mas. Hehehe.”
“Ngumpulin
koin? Buat apa? Nay kan udah punya celengan yang dibeli Ayah,” tanyaku lagi
penuh selidik. Tidak biasanya Nayra mau bermain-main dengan barang-barang
bekas.
“Nay,
Aisyah sama mbak Nina mau ngumpulin sumbangan buat beli bibit pohon. Kata Bu
guru, kita harus nanam pohon di tanah yang gundul supaya gak terjadi longsor
kayak di rumahnya mbak Nina,” jawab adikku lagi.
“Udah
ahh, Nayra mau bersihin kaleng dulu. Mas Faris nanya-nanya mulu.”
Eh...
tiba-tiba aku mendapat ide untuk membantu paman Gun.
***
Aku dan beberapa temanku sudah berkumpul di
lapangan depan kampus. Kami bersiap untuk aksi hari ini. Kami masih menunggu
beberapa teman lain yang belum datang. Aku memandang puluhan kaleng-kaleng
bekas yang sudah diberi tulisan “SERIBU KOIN UNTUK POHON”. Mengapa harus koin?
Suatu hari beberapa teman anggota pecinta alam menanyakan hal itu padaku kekita
kami sedang rapat. Ya kedengarannya sederhana memang. Tetapi, aku punya alasan
tersendiri mengapa gerakan aksi ini diberi nama seperti itu. Coba kita pikir,
apalah arti sekeping koin recehan bagi seseorang? Mungkin tidak begitu berarti
baginya, namun dengan sekeping koin itu ia bisa menunjukkan kepeduliannya
terhadap kelestarian alam. Jadi, siapapun sebenarnya bisa ikut berpartisipasi
menjaga kelestarian alam dengan berbagai cara.
“Hei,
Riiiis.” Alan baru saja datang membawa spanduk dan pengeras suara yang akan
kami gunakan untuk aksi hari ini.
“Alhamdulillah
akhirnya kamu ikut juga,” Alan tersenyum melihat perubahanku. Ini pertama kali
aku ikut berpartisipasi dalam kegiatan amal sosial yang diselenggarakan oleh
kawan-kawan dari komunitas pecinta alam. Sejak inilah aku mulai mencintai
kegiatan seperti ini. Aku tersenyum sendiri. Kejadian yang dialami paman Gun
menyadarkan diriku bahwa mencintai, menjaga dan memelihara alam adalah tugas
semua orang termasuk para pemuda yang akan menjadi generasi penerus negeri ini.
“Jangan sampai kita pergi meninggalkan generasi yang lemah, yang tahunya cuma
meminta bahkan merusak alam namun tak pernah memberi apapun untuk alam.
Bersahabatlah dengan alam.” Kira-kira begitulah nasihat yang diberikan paman
Gun tadi malam padaku.
Terimakasih
paman Gun, terimakasih Alan, terimakasih untuk kalian semua yang telah
menyadarkanku. Akhirnya aku mengerti betapa lebih bermanfaatnya beraksi untuk
alam, karena dengan kita mencintai alam maka ia akan menjaga kelangsungan hidup
kita bahkan hingga ke anak cucu kita nanti.
“Ris,
ayo kita bergerak.” Alan mengajakku untuk memulai aksi kali ini.
Sebelum
aksi, Alan memimpin doa. Semoga kegiatan kami ini mendatangkan manfaat. Baik
itu bagi kami yang mengumpulkan dana dan juga bagi masyarakat yang nantinya
akan menyumbang. Semoga hati mereka tersentuh untuk menjaga dan memelihara
kelestarian alam.
“Pemirsa, ribuan mahasiswa yang tergabung
dalam komunitas pecinta alam hari ini mengadakan aksi “Seribu koin untuk pohon”.
Mereka mengadakan Long March mengelilingi
kota untuk mengumpulkan sunbangan yang akan digunakan untuk aksi penanaman
pohon di daerah hutan gundul dan rawan longsor. Aksi yang sangat menginspirasi
ini menjadi penyadaran bagi kita untuk menjaga, merawat dan memelihara alam. Selain
itu, semoga kegiatan ini menggugah hati para pemuda-pemuda di negeri ini untuk
bersama-sama bergerak dan memberi manfaat bagi bangsa ini. Kalau bukan pemuda,
siapa lagi?”
Sekian
berita siang ini kami sampaikan dari lokasi kejadian.
#Cerpen ini didedikasikan untuk memperingati hari bumi sedunia yang jatuh pada tanggal 22 April, tanggal yang bersamaan dengan hari lahir saya :)
#telat ngepos ^_^
#telat ngepos ^_^
No comments on "Seribu Koin Untuk Pohon"