Melerai rindu di kampung halaman ayah




Aku yang sedang di ufuk rindu, mencoba mencari hadirmu di sini.. di tanah kelahiranmu, ayah.

Di siang hari yang terik diiringi lagu yang diputar oleh tetangga depan rumahku, lagu yang seolah-olah menjadi backsound tulisanku kali ini...

"takkan pernah ada yang lain di sisi, segenap jiwa hanya untukmu, dan takkan mungkin ada yang lain di sisi, kuingin kau disini, tepiskan sepiku bersamamu... hingga akhir waktu.. "

untuk kali ini lagu yang diputarnya sedikit bersahabat di telinga tidak seperti kemarin-kemarin, mengganggu ketenangan batin siapa saja yang mendengarnya.. :D

Beberapa hari yang lalu, aku melakukan perjalanan yang tak terencana sebelumnya. Mungkin inilah rahasia Allah padaku yang sedang di ufuk rindu. Untuk beberapa hari aku menginap di kampung halaman ayah. Sebuah desa yang sangat tentram jauh dari hiruk pikuk kota yang memusingkan, dan juga benar-benar jauh dari yang namanya dunia sms-an, dunia facebookan *haha karena di sini sinyal benar-benar lenyap.

3 hari hari di desa ayah yang terletak cukup jauh dari kota tingggalku, sekitar 14 km, kira-kira 2 jam perjalanan. Dulu, waktu jalannya masih rusak, perjalanan memakan waktu lebih banyak lagi, karena di setiap jembatan yang dilewati harus turun, di setiap jalan berlubang harus pelan-pelan, dan pernah hampir terjatuh *hehe. Kalau sekarang, alhamdulillah sudah lebih baik, ya bisa kukatakan lebih baik dibandingkan desa tempat aku PBL dulu.

Terlepas dari itu semua, ada kebahagiaan dalam hatiku karena punya kesempatan untuk tinggal beberapa hari di sini. Ketenangan desa ini membuatku benar-benar merenung, benar-benar merenung. Sudah sejauh mana aku berjuang untuk hidupku seperti perjuangan ayah semasa hidupnya.
Kubandingkan kehidupan yang kujalani selama ini dengan kehidupan di desa ini. Ayahku terlahir di desa yang minim fasilitas, di sini yang ada cuma sekolah SD, anak-anak yang duduk di bangku sekolah menengah harus menempuh perjalanan jauh dengan sepeda ke kecamatan. Di sini, gak ada rumah sakit, yang ada puskesmas pembantu saja. Gak ada minimarket, yang ada hanya warung kecil yang harga dagangannya lebih mahal dibandingkan di kota. Dan tentu saja di sini terisolir dari dunia maya.. hehe. Walau begitu, ayahku tetap menjadi orang sukses walau terlahir dengan kondisi kampung halaman seperti ini. Lalu bagaimana denganku yang memiliki banyak fasilitas? Aku belum benar-benar berjuang.

Selama 3 hari, aku tinggal di rumah saudara laki-laki ayahku, aku memanggilnya pak tanga, panggilan untuk saudara laki-laki ayah. Pak tanga memiliki banyak kemiripan dengan ayah. Postur tubuh, suara dan gestur tubuhnya. Suatu pagi aku terkejut mendengar suaranya, persis sama! dan aku mulai merindu di pagi itu. Merindu ayah yang pergi tanpa kata. Yang kuingat beberapa minggu sebelum ayah pergi, ia selalu minta didoakan. Dan akan selalu ada doa untuknya.

Semua sudah takdir dari Allah, kepergian ayah yang sangat mendadak di siang yang mendung itu tak ada yang pernah menyangka. Kecelakaan itu hanya sebab. Allah sudah menentukan semuanya.
Kala itu, aku masih kuliah semester 5, sebentar lagi menamatkan kuliahku. Aku sudah membayangkan semua persiapan menjelang wisuda nanti, ayah dan ibu akan hadir di acara wisudaku. Namun, rencana Allah jauh lebih indah.

Ketika itu, hanya aku satu-satunya orang yang tak diberitahu kejadian yang sebenarnya. Aku hanya mendadak disuruh pulang besok pagi, karena ayah sakit keras. Setauku ayah tak punya riwayat penyakit yang parah. Aku tau, mereka menyembunyikan hal itu dariku, entah dengan alasan apa. Sejak kabar itu, dari sore hingga malam banyak saudara-saudara yang menelepon. Mereka bertanya ini itu, aku tak tahu mau jawab apa? aku pun tak tahu apa ayah hanya sakit atau...?? Hanya ibu saja yang tak menelpon. Yah, mungkin saat itu dia sedang menahan rasa perih di hatinya, membuatnya tak sanggup untuk berkata apapun padaku. Ayah pergi tiba-tiba, setelah ia iringi kepergian ayah menuju sekolah di depan pintu rumah siang itu.

Semua yang terjadi menjadi semakin jelas setibanya aku di nias, saudara yang datang menjemput menceritakan kronologis kejadian itu, bahkan kami melintasi tempat kejadian. Tabrakan maut di simpang meriam. Ada sedih yang mendalam, ada rasa perih yang menusuk-nusuk. suatu kenyataan pahit yang harus kuterima. Ayahku sudah pergi. Mengahadap Allah. Hal yang selalu dirindukan oleh ayah.

Setibanya di rumah, aku tak mau menangis meraung-raung, karena Rasulullah tak suka hal itu. Seperih apapun hati ini, aku hanya menangis ikhlas seraya melantunkan doa untuk Ayah. Semoga Allah tempatkan di tempat terindah milikNya. Ayah meninggal dengan husnul khatimah. Ia pergi meninggalkan senyum terindah miliknya. Wajahnya putih bersih. Tak ada goresan sedikitpun di tubuhnya akibat kecelakaan itu. Seluruh tubuhnya utuh, bahkan kacamatanya pun tak ada retakan. Yang rusak parah hanya sepeda motor ayah.

Ahh, berada di kampung halaman ayah, benar-benar membuatku merinduinya. Kurasakan hadirnya di sini, hadirnya yang tak pernah bisa tergantikan, hingga akhir waktu. Ayah, engkau akan selalu ada di hatiku.

Akan selalu ada doa untuk Ayah.. Semoga kita bersua di SyurgaNya...

Ade,

Oktober 2013

Read More