Cahaya Dari Negeri Sakura



"Jadi.. diam menjadi pilihanmu ??
Hening. Yang ditanya bergeming.  Hanya sunyi yang mengayun di antara kami.

"Tak adakah maaf untuk seorang wanita yang karenamu ia membenci dirinya seumur hidup???!!!" kali ini aku berteriak di sela tangis ku yang terisak pilu.

Ku pandangi punggungnya, berharap ia menoleh ke belakang sekali saja.. 

Angin bertiup mengusik bunga-bunga sakura yang sedang bermekaran, seperti diriku yang mungkin kini hadir untuk mengusik hidupnya. Kurasa ia berpikir begitu tentangku, orang yang baru seminggu dikenalnya."Aku akan pulang, tapi tidak sekarang.. Entah kapan.." jawabnya pelan, sangat pelan hingga angin pun tak sempat mengembuskan ucapannya.

"Pulanglah.." katanya mencoba melangkah pergi, meninggalkanku.
Sepahit itukah???



***

Namaku Cahaya. Panggil saja Aya. Sebenarnya di akte kelahiran namaku Ai No Hikari. Nenek tidak mau aku menggunakan nama yang berbau-bau jepang. Bukan, bukan hanya namaku, semua yang berkaitan dengan jepang nenek sangat tidak suka. Entah kenapa. Hingga nenek memanggilku dengan nama Cahaya. Aku cahaya bagi kakek dan nenekku. Yah, cahaya cinta penepis kelam dalam hidup mereka. Kelam yang berwujud duka mendalam semenjak kematian anak perempuan mereka satu-satunya. Ibuku. 

Aku tengah berlari-lari mengejar waktu, aku tak tahu siapa yang menang, tapi kuyakin waktupun tak mau mengalah barang sedetik. Tak ada pilihan, aku yang harus menambah kecepatan lariku. Aku tak mau terlambat. tinggal 10 menit lagi waktu yang tersisa.

Huuuuhft.. hampir saja!!  Masih ada waktu 2 menit untuk check in. Kusodorkan segala yang dimintai petugas yang menangani keberangkatan luar negeri. Yah, sesuai dugaan, tak ada kendala yang berarti. Aku segera mencari bangku paling nyaman di waiting room, yang kubutuhkan adalah sebotol air minum. Berlari-lari cukup menguras energiku. 

Belum lagi sempat kutarik nafas, suara bising petugas bandara memaksaku untuk bergegas naik pesawat. Jakarta-Tokyo.


*** 

Di Jepang sedang musim semi..
Kota ini bermerah jambu ria menyambut kuncup-kuncup sakura yang bermekaran, menggelar tikar duduk melingkar dengan sanak keluarga atau teman berhanami dengan riangnya. Hmmm,, kehangatan keluarga yang tak pernah kurasa. Ku rindu ayah ibuku. Kedua orangtuaku yang tak pernah kurasakan dengan jelas belai kasihnya, panggilan sayang dari mulutnya atau sekedar mengucapkan selamat ulang tahun.Ada cairan hangat yang menetes di pipiku... Sakura yang sedang mekar itu membawa ingatanku pada pembicaraan serius antara kakek dan aku di joglo taman rtadi malam. Pembicaraan yang menguak tabir sejarah kehidupanku. Sejarah tentang keluargaku.

.... Kututup pintu kamar nenek dengan pelan... Aku tak sanggup melihatnya terkulai lemah. Ini kondisi terparah yang pernah dialami nenek. Belakangan ini, nenek memang sering sakit, tapi tak separah kali ini. Dari balik jendela kulihat kakek duduk termenung di joglo... Seperti sedang memikirkan sesuatu yang cukup menguras pikirannya. Mungkin kakek begitu sedih melihat kondisi nenek yang melemah.

Kakek melambaikan tangannya memanggilku.
"Aya, sudah liat keadaan nenek...? " kakek memandangku sayu.

"Sudah kek..." jawabku pelan.

"Aya, apakah aya menyayangi nenek...?" tanyanya lagi. Kali ini sambil menengadah memandang langit yang tak berbintang. Kelam. Sekelam hati kakek saat ini.

"Tentu saja, kek... kenapa kakek bertanya seperti itu?"

"Bagaimana dengan islam? Apakah Aya begitu membenci islam?" kakek terus bertanya padaku yang belum mengerti kemana sebenarnya arah pembicaraan ini.

"Tentu saja!! Aku sangat membenci islam! karena islam telah merenggut nyawa ibuku.. merenggut kebahagiaan yang seharusnya ada untuk kita..." jawabku penuh benci.

"Aya.. jangan terlalu membenci sesuatu.. karena sesuatu yang kau benci itu, suatu saat bisa jadi menjadi sesuatu yang sangat kau cintai..."

"Mencintai islam?? Itu tidak akan terjadi kek..!!" jawabku lantang dengan penuh keyakinan. Mana mungkin aku bisa mencintai sesuatu yang telah membunuh ibu??

Kali ini kakek menatapku. "Maukah Aya mendengar cerita yang sebenarnya tentang ibu dan ayahmu..?"

"Cerita yang sebenarnya?? Apa maksud kakek...?? Bukankah nenek sudah menceritakan segalanya?" jawabku heran." Ai No Hikari, inilah waktu yang tepat untuk menceritakannya. Tapi, kakek minta dirimu bisa menerima kenyataan ini dengan bijak. Kakek yakin aya sudah cukup dewasa untuk memahami hal ini.. "Aku mengangguk. Apa sebenarnya yang terjadi di masa lalu?"Ibumu adalah seorang gadis yang cantik ketika ia masih muda seperti dirimu. Ia berhati mulia lagi ramah. Kakek dan nenek sangat menyayanginya. Ia anak semata wayang kami. Kepergiannya melanjutkan studi ke Jepang membuat kami sedih, terutama nenekmu. Tapi, ibu terus saja meyakinkan nenek kalau ia akan baik-baik saja dan setiap hari akan kirim kabar. Kami merelakannya..." kakek memulai ceritanya...

Ia mendehem seolah menyembunyikan sedihnya..

"4 tahun berlalu... kami mendapat undangan wisuda dari kampusnya. Berangkatlah kakek dan nenek dengan kegembiraan. Sesampainya di sana kegembiraan itu sirna. Ibumu bukan dia yang dahulu. Ia memakai penutup kepala yang orang muslim menyebutnya jilbab. Ibumu ternyata telah berpindah keyakinan. Nenek shock. Kebencian menjalar hingga ke ulu hati. Kakek pun begitu. Nenek tak mengganggap ibumu sebagai anaknya lagi. Bagi nenek, ibumu telah mati. Kakek tak bisa berbuat apa-apa. Sebagai seorang ayah, kakek merindukan ibumu. Ingin sekali memeluknya dan berkata : apapun yang terjadi, kau tetap anakku. Itu yang tak bisa kakek lakukan Aya... Bagaimana mungkin bisa?? itu hanya menambah luka di atas perih hati nenekmu... Di negeri di mana hampir semua orang menyembah matahari, ibumu malah menjadi seorang muslim. Kakek tak habis pikir, Aya.. Ahh, mungkin inilah yang disebut hidayah. Ianya hadir menyapa siapa saja, di mana saja..."

"Ibuku memeluk islam atas keinginannya sendiri...?? Bukankah kata nenek ia dipaksa oleh laki-laki yang menjadi suaminya...??" aku bertanya penuh keheranan.

"Semua cerita yang kau dengar dari nenekmu itu bohong, Aya..." jawab kakek sesekali memandang langit. Mencoba menahan airmatanya yang hampir jatuh.

Apa?? Tega sekali nenek membohongiku. Ia membuatku membenci islam sampai ke urat-urat nadiku. aku teringat penghinaanku pada Annisa, teman kampusku yang memakai jilbab lebar, kemana-mana membawa kitab suci yang mereka sebut al-Qur'an. Aku teringat sikap kasarku kepadanya, aku menarik jilbab lebarnya yang merusak pemandangan. Ya Tuhan, aku sudah mempermalukannya di depan semua orang. Aku terlahir jahat karena kebohongan ini.

"Luka itu semakin menganga, menggores tanpa ampun, ketika kami didatangi oleh seorang pria keturunan Indonesia-Jepang yang ingin meminang ibumu. Takashi. Pria itu bernama Ahmad Takashi. Pria yang ternyata satu keyakinan dengan ibumu" 

Kakek terus saja bercerita, aku pun semakin ingin tahu kebenaran masa lalu ibuku. Aku tak percaya, selama 18 tahun aku hidup dalam sebuah kebohongan besar!

"Nenek menduga ayahmulah penyebab ibumu beralih agama. Ia sangat membenci ayahmu. Menikahlah dengan anak durhaka itu!! Tak perlu kau meminta restuku, dia bukan anakku! Anakku sudah mati!!. Nenekmu tak mampu menahan amarahnya. Kakek hanya berbisik : Bila engkau bisa menjaga putriku dengan baik, bila engkau bisa membuat dia bahagia, menikahlah dengannya.. Kakek merestui mereka...

"Ya Tuhan, inikah yang terjadi...?

"Kakek memang belum bisa menerima ibumu secara utuh, Aya... karena dia sudah meninggalkan agama yang sudah turun temurun diajarkan nenek moyang kita. Tapi, bagaimana pun itu ia tetap anakku" kali ini kakek tak mampu membendung air matanya.. Untuk pertama kali dalam hidupku aku melihat kakek meneteskan airmata. Perih yang ia tanggung selama bertahun-tahun menusuk-nusuk hatinya.."

Aya, ketika 10 tahun berlalu... luka di hati nenekmu belum juga sembuh. Tak kami sangka, Ibu dan ayahmu datang  ke Indonesia membawa seorang anak lelaki berusia 9 tahun"

"Aya punya kakak, kek??" setiap tanyaku adalah heran. Bagaimana tidak? Cerita ini penuh misteri. Aku tak pernah tahu kalau aku punya saudara kandung. Selama ini aku tahu diriku terlahir sebagai anak tunggal seperti ibuku.

"Ya.. Kakakmu seorang anak lelaki yang tampan, Koichi Mustafa, laki-laki pilihan yang bersinar. Kira-kira itulah arti namanya. Anak lelaki yang mampu meluluhkan hati kakek, tapi tidak dengan nenekmu... walau waktu sudah berlalu, nenekmu tetap saja menyimpan perih itu" 

Sebegitu bencinya nenek pada islam. Aku pun menjadi bagian dari kebencian ini. Nenek dengan lihainya menanamkan kebencian dalam  diriku. Kebencian berkedok kebohongan.

"Tak ada kata maaf yang terucap untuk ibumu. Ibumu yang tengah hamil tua kala itu memohon-mohon kepada nenekmu tapi tetap saja. Hatinya bergeming pilu. Sudah tak ada lagi tempat untuk ibumu di hatinya..."

Air mataku meleleh tanpa izin. Nenek, tega sekali pada ibu...

"Sebulan setelah pertemuan itu, lahirlah dirimu, Aya.. Bayi mungil yang cantik seperti ibumu. Bayi yang nantinya menjadi Cahaya cinta bagi ayah, ibu, kakek dan nenek. Kakek ingin sekali melihatmu ketika itu, tapi nenekmu melarang kakek. Ahh, nenekmu menyimpan perih yang teramat sangat, kebaikan dan kelembutan hati ibumu serta wajah-wajah mungil cucunya tak mampu meluluhkan hatinya yang membeku"
Kakek menghela nafas sangat dalam,,,

"Ibumu sudah berusaha keras, aya... Tapi, nenekmu belum juga membuka hatinya. Ayah dan ibumu akhirnya memutuskan untuk kembali ke Jepang. Mereka tak ingin membuat nenek terus menderita dengan keberadaan mereka. . Entah kapan bisa bertemu dengan kalian lagi..."

Malam semakin larut...Tapi kisah ini belum usai. Aku ingin tahu semua kebenaran ini, malam ini. aku tak mau lagi hidup dalam kebohongan...

"Aya, dalam perjalanan menuju bandara, kalian mengalami kecelakaan hebat. Ayah dan ibumu tak tertolong. Mereka meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit. Sebelum meninggal ibumu berpesan, agar kalian tinggal bersama keluarga ayahmu di Jepang. Nenekmu saat itu tak mampu berkata. Ada perih baru yang hadir, bertumpuk-tumpuk dalam dadanya. Bisa kau bayangkan betapa sakitnya itu. Ia menangis histeris memanggil-manggil nama ibumu. Anna Maria..."

Aku terisak... hatiku menjerit memanggil Ibuku.
Ibu, mengapa begitu tragis??

"Kakek mengira, dengan kematian ibumu... kebencian nenek berangsur hilang... Pada kenyataannya nenekmu semakin memupuk benci itu, tanpa kakek sadari ternyata telah tumbuh dan mengakar kuat dalam hatinya..."

Kebencian yang kini ia tularkan padaku... Aku mulai menyesali sikap nenek.

"Nenekmu membuat rencana agar kalian tetap tinggal di Indonesia, dan tentu saja, menganut agama kami... Nenek tak mengizinkan keluarga ayahmu membawa kalian pergi..." 

Ahhh.. Tuhan, aku tak percaya ini. Aku terlahir sebagai seorang muslim!!

"Kakakmu yang berusia 9 tahun tidak mau berpindah agama. Cahaya islam sudah begitu terang dalam mata hatinya. Nenek terus saja memaksa. Bahkan tak segan untuk memperlakukan kakakmu dengan kasar...""Suatu malam, ketika keluarga ayahmu datang menjemput kalian... Nenekmu bersikeras melarang mereka... Kakek mencoba membujuk nenekmu tapi ia tak menggubris... Nenekmu benar-benar berubah menjadi jahat..."Kakek menyeka air matanya... "Nenek membawa kalian berdua pergi keluar kota malam itu juga... Terburu-buru ia mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi... kami mengejarnya... Kakakmu memberontak di dalam mobil, ia mencoba membuka pintu mobil daaaan... Bruuuk!!! Kakakmu tercampak keluar mobil, terguling-guling... Darahnya mengalir deras..."

Ya Tuhaaan!! aku menjerit.
"Apa yang terjadi dengan kakak? Lalu bagaimana dengan Aya ketika itu kek??" Aku benar-benar tak ingat kejadian mengerikan itu. Tentu saja, aku masih 10 bulan ketika itu.

"Kakakmu terluka parah... Sementara dirimu tetap bersama nenekmu yang melaju dengan kecepatan tinggi...""Nenek tak menghentikan mobilnya, kek...?? Tega sekali nenek melakukan hal itu!!!" 

Aku mulai membenci nenek.

"Aya, kau tak boleh membenci nenekmu" kakek melihat kebencian di mataku.

"Walau bagaimanapun... neneklah yang selama ini sudah merawat dan membesarkanmu..."

Kali ini, aku yang menghela nafas dalam-dalam... Begitu berat menjalani malam bersama kisah pilu ini. Tapi lebih berat lagi bagi kakek yang menjalaninya  dan harus mengenangnya kembali demi mengungkap kebenaran.

"Apa yang terjadi setelah itu, kek??"

"Kakakmu di bawa ke Jepang untuk menjalani pengobatan intensif... Sementara dirimu tinggal bersama bibimu di pinggir kota sampai usia 6 tahun... Barulah kami mengambilmu dan tinggal bersama kami sampai sekarang... Kami menyimpan kisah ini dengan rapi. Semua ini atas keinginan nenekmu. Kakek tak punya pilihan, Aya... karena nenekmu mengancam akan membuangmu jika kami tak menuruti kemauannya..."

"Lalu bagaimana nasib kakak, kek?" 

"Sejak kecelakaan itu hanya 2 kali kakek mendapat kabar dari keluarga ayahmu.."

"Pertama, mereka mengabarkan kakakmu mengalami patah tulang di bagian kakinya.. kabar kedua...." kakek berhenti, mencoba mencari kalimat yang tepat untuk mengatakannya.. "Ia meninggal dunia karena kecelakaan itu... setelah itu, tak pernah lagi ada kabar apapun

"Kini tangisku pecah. kisah hidup keluargaku benar-benar tragis... aku terisak.
Kakek menepuk pundakku..."Aya, inilah kesedihan yang kakek pendam selama ini. Kakek yang tak punya kekuatan untuk menentang tindakan nenekmu, karena kakek tak mau terjadi sesuatu pada nenekmu.. Ia sudah terlalu perih kehilangan anaknya, makanya ia berbuat seperti itu...""Aya, dirimu terlahir sebagai seorang muslim, kakek dan nenekmulah yang membuatmu beralih keyakinan... Sekarang, Terserah pada Aya.. Aya kini telah dewasa, sudah bisa memilih jalan hidup sendiri..." 

Kakek masuk ke dalam rumah, bebrapa saat kembali duduk di sampingku. 
Ia mengambil sebuah buku. Ahh, tidak. Itu al-Qur'an!!!

"Kakek membaca al-Qur'an???" kataku heran. Kakek adalah seorang hamba Tuhan yang taat. Bagaimana mungkin ia memiliki kitab umat islam itu?

"Ini milik Ibumu. Terjatuh ketika kecelakaan itu. Kakek menyimpannya dan pernah beberapa kali membacanya..." Kakek tersenyum "Aya, Islam itu indah". 

Aku terkejut mendengar perkataan kakek.
"Apakah kakek sudah memeluk islam??" aku tak bisa menduga jawaban apa yang akan dikatakan kakek.
"Suatu saat itu akan terjadi, Aya..." Jawab kakek sambil mengelus kitab itu.

"Aya, maukah membantu kakek??" 

"Apa yang bisa aya lakukan untuk kakek?" apapun itu akan aku lakukan untuk membuatmu bahagia, kek..

"Besok pagi, aya terbang ke tokyo. Cari kakakmu"  jawab kakek.

"Apa? Bukankah kakak sudah meninggal?" bagaimana aku bisa menemukan orang yang sudah meninggal?

"Beberapa hari yang lalu kakek mendapat kabar kalau ternyata dia masih hidup. Keluarga ayahmu menyembunyikan keberadaannya agar nenekmu tidak mencarinya... Sama seperti yang dilakukan nenekmu. Dia membohongi keluarga ayahmu. Ia katakan bahwa dirimu juga telah meninggal dunia"

Ya Tuhan, sungguh pembohongan yang terencana!!!

"Aya tahu kan nenek sedang sakit keras saat ini... Ia ingin bertemu dengan kakakmu... Ia ingin menebus segala dosanya selama ini. Ia ingin langsung meminta maaf pada kakakmu, pada kalian berdua... Ia tidak ingin mati membawa segala kebencian di hatinya... Kebohongan yang dilakukannya selama ini hanyalah ketenangan sesaat. Dan bila tak diselesaikan, akan menjadi kegelisahan seumur hidup baginya"


***

"Apa kau masih mengenalku??" tanyaku menatap lelaki bermata sipit di depanku. Ia berpakaian seperti mahasiswa lelaki di kampusku yang sering nongkrong di mesjid kampus.

"Maaf, anda siapa, apa kita pernah kenal sebelumnya??" tanyanya penuh selidik.

"Aku, adikmu Ai no Hikari" jawabku menunggu reaksi selanjutnya.

"Apa? aku tak salah dengar? Ai sudah lama meninggal. Bagaimana anda tahu nama itu?" Ia setengah terkejut. Tapi tetap saja tenang. Hanya angin semilir yang menggoyang-goyang kemeja birunya.

Aku mencoba menceritakan kisah yang kudengar dari kakek kepadanya.
Tak kusangka dia menangis.

"Lalu apa agama yang kau peluk sekarang adikku??" tanyanya mengubah kata "Anda" menjadi "adikku"

"Sama seperti kakek dan nenek." jawabku bimbang. Aku tahu dia tak menyukai jawaban ini. Seharusnya kami berada dalam keyakinan yang sama.

"Ohh...." ia mengatakan "Ohh" dengan nada kecewa.

"Nenek memintamu kembali ke Indonesia" kataku lagi.
Yang ditanya diam.
"Nenek sudah berubah, kak... Ia ingin meminta maaf padamu, pada kita"
Dia tetap saja diam. Kali ini ia membalikkan tubuhnya seolah akan beranjak pergi.

"Diam bukan solusi" ujarku lagi berusaha menghentikan niatnya untuk pergi. 

"Apakah agamamu tidak mengajarkan tentang memaafkan kesalahan orang lain??" ini senjata terakhirku untuk membujuknya.

"Kakak sudah memaafkannya sejak dulu...
Ia menghela nafas..."Aku akan pulang, tapi tidak sekarang.. Entah kapan.." jawabnya pelan, sangat pelan hingga angin pun tak sempat mengembuskan ucapannya.

"Kembalilah ke Indonesia.." katanya mencoba melangkah pergi, meninggalkanku.

"Demi Tuhanmu... Pulanglah bersamaku, apakah kakak tega melihat nenek membenci dirinya sendiri seumur hidupnya?" aku berteriak. Aku takkan pulang tanpa hasil.

"Ai, apakah dirimu mencintai islam??" tanyanya.
"Ya..." jawabku yakin. Ini cinta pertamaku yang kusampaikan pada dunia.
"Begitupun dengan kakek... Kami membutuhkan bimbinganmu..." jawabku tersenyum.

"Lalu, bagaimana dengan nenek? apakah kisah pahit itu akan terulang kembali?" tanyanya ragu.

"Biarlah ia mendapatkan secercah cahaya dari negeri sakura ini seperti cahaya yang menerangi hati ibu"
Ia tersenyum. 
"Ayo kita pulang membawa cahaya itu..."

Bunga-bunga sakura yang bermekaran ini menjadi  saksi.


***

4 comments on "Cahaya Dari Negeri Sakura"

  1. waw mantap banget :D
    kakak bener-bener berbakat merangkai cerita .. ajariiinnn :)

    ReplyDelete
  2. ini terlahir dari sebuah imajinasi bi.
    imajinasi seorang rafila yang ingin ke jepang karena suatu misi. :D

    gimana ya ngajarinnya. berimajinasi saja. :)

    ReplyDelete
  3. itu pujian yang mematikan, bi :p

    ReplyDelete

Terimakasih telah membaca, semoga bermanfaat dan menginspirasi. Silahkan tinggalkan jejak anda di sini :D