Warna-warni Kehidupan Muslim di Pulau Ombo Batu





Bismillahirrahmanrrahim..

Assalamu'alaykum, apa kabar kawan? di pagi Ramadhan yang menyejukkan hati ini semoga berkucur nikmat dari Allah untuk kita semua.

Bagaimana nuansa ramadhan di daerah kalian? saya ingin berbagi sedikit cerita tentang warna-warni kehidupan kami, umat muslim di pulau ombo batu alias Nusa Indah Andalan Sumatera (NIAS).

Nias secara keseluruhan merupakan pulau yang dikelilingi laut dan  luas daratannya 3.495,40 Km² atau 4,88% dari luas wilayah Provinsi Sumatera Utara dan merupakan daerah gugusan pulau yang jumlahnya mencapai 132 pulau. Secara geografis, Nias terletak pada garis 0º12’-1º32’LU (Lintang Utara) dan 97º-98ºBT (Bujur Timur) dekat dengan garis khatulistiwa dengan batas-batas wilayah :

Sebelah Utara : berbatasan dengan Pulau-pulau Banyak Provinsi Aceh
Sebelah Selatan : berbatasan dengan Kabupaten Nias Selatan Sumut
Sebelah Timur : berbatasan dengan Pulau Mursala, Tapanuli Tengah
Sebelah Barat : berbatasan dengan Samudera Hindia.

(kita tidak sedang belajar geografi, hanya ingin memaparkan bahwa pulau Nias adalah bagian dari Indonesia dan tentulah ada di peta...silahkan dicek. hehehe)

Pulau Nias beriklim tropis dengan curah hujan yang cukup tinggi yaitu mencapai 2.927,6 mm pertahun sedangkan jumlah hari hujan setahun 200-250 hari atau 86 %. Itulah sebabnya saya mencintai hujan :) Bahkan dalam skripsi saya, hujan adalah solusi yang saya tawarkan sebagai sumber air bersih masyarakat dikarenakan di desa  tempat penelitian saya itu sulit mendapatkan air bersih sebagai sumber air minum. Tempat tinggal penduduk desa yang banyak tersebar di pesisir pantai, menjadikan mereka sulit mendapatkan air minum yang bersumber dari dalam tanah. Pasalnya, air dari dalam tanah berasa asin karena dekat dengan laut.

Kondisi alam daratan Pulau Nias sebagian besar berbukit-bukit, terjal serta pegunungan. Akibat kondisi alam yang demikian mengakibatkan adanya 102 sungai-sungai kecil, sedang, atau besar ditemui hampir di seluruh kecamatan.


Secara singkat, seperti itulah kondisi geografi pulau Nias. Jika ingin tahu lebih lanjut, silahkan datang kemari :D

Pulau yang terkenal dengan keindahan pantainya ini, sekarang terdiri dari 4 kabupaten yakni kabupaten Nias, Nias Barat, Nias Utara, Nias Selatan dan Kota madya Gunungsitoli. Dan saat ini sedang digadang-dagang untuk menjadi Provinsi, berlepas diri dari Provinsi Sumatera Utara. Saya belum tahu pasti apakah hal ini nantinya akan memberi kemajuan bagi pulau Nias terutama bagi kami, penduduk muslim minoritas. 

Asal usul masyarakat Nias baru-baru ini diketahui berasal dari Taiwan. Hal ini baru terungkap setelah seorang ahli genetika, Manis van Houven melakukan penelitan. Houven mengambil sampel DNA dari 900 warga Nias. Hasil pemeriksaan menunjukkan ada kedekatan ke titik akurat bahwa orang Nias sangat dominan mirip dengan genetika orang Taiwan. (Selengkapnya boleh lah di baca di sini Asal-Usul Orang Nias Berasal dari Taiwan)

Bila dilihat secara fisik, hasil penelitian itu tidak mengherankan karena ciri khas orang nias itu berambut hitam, wajah berbentuk oval, berkulit putih, bermata sipit dan berpostur tubuh sedang. Tapi, kalau anda melihat saya barulah heran. hehehe. Karena saya sama sekali tidak mirip orang nias apa lagi orang taiwan. hehe. Padahal saya terlahir dari kedua ibu bapak yang bersuku nias asli tanpa blasteran suku manapun baik dari garis keturunan ayah maupun ibu. Saya malah lebih mirip orang jawa (haha, kata orang). Dan saya pun baru menyadarinya saat masuk kuliah, ketika dosen dan teman-teman saya melihat ada orang nias dengan ciri-ciri lain (haha). 

Secara umum, mayoritas orang nias beragama Nasrani, sedangkan umat Islam tidak mencapai 10%. Agama islam pertama kali masuk di pulau ini disebarkan oleh saudagar dari Aceh dan Minang. Itulah sebabnya adat istiadat orang nias yang beragama islam dan beragama nasrani sedikit berbeda, karena adat istiadat muslim nias adalah perpaduan antara adat istiadat Aceh dan Minang. Oh ya, di Nias ada sebuah gua bernama tegi ndrawa. Ini adalah nama salah satu gua yang terletak di Gunung Sitoli. Menurut info yang beredar, tegi ndrawa ini disebut-sebut sebagai guanya orang Islam di pulau Nias. Tegi itu artinya gua, dan ndrawa adalah sebutan untuk orang Islam. Cerita singkatnya sewaktu pertama kali orang Islam datang ke pulau Nias, di gua tersebutlah mereka tinggal. Jadi gua tersebut semacam rumah bagi mereka. Mereka tidur dan melakukan berbagai kegiatan sehari-hari di gua tersebut. Dari gua tersebutlah ajaran agama Islam menyebar di pulau Nias. Wallahu a'lam bishwab.

Nah, meskipun kami hidup di pulau yang mayoritas penduduknya Nasrani, kami hidup rukun dan damai. Belum pernah terjadi pertikaian antar agama di pulau ini walau upaya *******sasi itu tetap ada, Allah juga sudah mewanit-wanti dalam Al-Qur'an :).

Ada beberapa organisasi dan lembaga islam yang berkiprah di Nias seperti Dewan Da`wah Islamiyah Indonesia, Muhamadiyyah, Nahdatul Ulama, Pesantren Hidayatullah, Asia Muslim Charity Foundation, Al Azhar Peduli Indonesia, Al Wasliyah, Yayasan Peduli Muslim Nias (YPMN),  BKPRMI, HMI MPO, PMII, Pesantren Putri Ummi Kulsum, dan yang terbaru saat ini adalah PUSDAI Center (Pusat Dakwah Islam Nias) yang masih membuka cabang Pondok Pesantren untuk Putra dan PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini).

Kualitas pemahaman agama umat islam di pulau Nias masih jauh dari harapan. Hal ini dikarenakan kurangnya sarana dan prasarana yang mendukung peningkatan pemahaman agama, dan juga masih minimnya jumlah Da'i yang memiliki ghiroh menyebarkan dakwah di pulau ini. Begitupun dengan organisasi islam yang ada terkesan mati suri.

Namun, dengan berbagai tantangan yang ada justru harus dijadikan peluang untuk menggerakkan progresifitas dakwah, untuk menyadarkan dan memajukan umat Islam di pulau Nias.

Yang terpenting sekarang adalah menguatkan diri sendiri, keluarga dan kawan-kawan kader dakwah yang ada di pulau Nias. Menghimpun semangat dan membangkitkan ghiroh dakwah kembali di Pulau Nias. Sehingga, dengan jumlah yang minoritas tetap berkualitas. Semoga ramadhan kali ini menjadi momentum munculnya ghiroh dakwah di pulau Nias.
Doakan kami ya!!


to be continued :D


Read More

Kusambut Engkau, dengan sepenuh cinta




Marhaban Ya Syahra Ramadhan
Marhaban Syahrasshiyam
Biquduwmik yanhalirran
ghaayatul husnul khitam


Selamat datang wahai bulan Ramadhan
Selamat datang wahai bulan puasa
Dengan kedatanganmu, yang buram menjadi terang
Husnul khatimah jualah yang menjadi tujuan



Marhaban ya ramadhan...
Sungguh anugerah terindah bagi kami atas hadirmu di tengah-tengah kami yang terbakar rindu.
Hadirmu membasuh jiwa-jiwa kami yang kering,
Hadirmu memberi kesempatan bagi kami untuk mendapatkan kasih sayang, ampunan dan jaminan terbebas dari api neraka.
Terbebas dari api neraka berarti kepastian menjadi penghuni surga. Tiada yang lebih bahagia kelak di negeri akhirat kecuali orang-orang yang telah tervonis bebas dari siksa api neraka.

Ramadhan,
izinkanlah kami menyambut hadirmu dengan hati gembira, karena tiada sikap yang lebih terpuji dalam menyambutmu selain dengan senang hati dan kerinduan jiwa untuk beramal ibadah.
maka izinkanlah kami menyambutmu dengan penuh ghirah agar kami kelak dikumpulkan di dalam surga ar-Rayyan yang diperuntukkan Allah bagi umat yang menjalankan puasa dengan baik.
maka izinkanlah kami menyambutmu dengan penuh bahagia agar kelak kami mendapatkan berkah yang berlimpah ruah yang telah diijanjikan Tuhan di setiap kali engkau hadir untuk kami.
maka izinkanlah kami menyambutmu dengan seraya membangun ketaqwaan pada Illahi agar cinta kita tahun lalu menjadi lebih indah di tahun ini.

Selamat datang ramadhan,
Kusambut engkau dengan sepenuh cinta... :*

Cahaya Surga


Read More

Menunggu Jemputan




Gadis itu. Seperti biasa. Sejak sepuluh tahun lalu. Selalu duduk entah menunggu siapa di gerbang sekolahku. Ahh, maksudku, gerbang sekolahku dan dia.

Gadis itu. Sejak sepuluh tahun lalu, tepatnya saat aku masih duduk di kelas dua sekolah dasar, ia siswa baru kala itu. Sejak pertama kali ia masuk dari gerbang sekolah, sejak itulah ia selalu duduk di sana, sepulang sekolah. Dan sejak itu pula aku memandangnya dari kejauhan.

Gadis itu. Aku tak tahu siapa namanya. Padahal sejak SD kami bersekolah di sekolah yang sama. Dan tanpa kusangka hingga aku SMA, kami selalu bersekolah di sekolah yang sama. Suatu kebetulan? Mungkin.

Gadis itu. ahh, mengapa akhir-akhir ini gadis itu mengganggu pikiranku. Padahal sejak sepuluh tahun lalu, dia hanyalah gadis tanpa nama yang kukenal di gerbang sekolah.

Aku tak pernah berusaha bertanya atau mencari tahu siapa dia, siapa namanya dan siapa yang ia tunggu setiap kali pulang sekolah. Aku tak pernah tahu.

Yang sepintas ku tahu adalah, sejak sepuluh tahun lalu, setiap kali ia duduk menunggu di gerbang sekolah, ia selalu menggenggam sebuah boneka lucu berwarna pink. Boneka itulah yang selalu menemaninya duduk menunggu.

Namun, sejak SMP, aku tak pernah lagi melihat boneka itu di tangannya. Sekarang sudah berganti dengan buku-buku pelajaran. Buku-buku itu yang mengisi waktunya kala duduk menunggu. Menunggu sesuatu atau seseorang? Aku tak pernah tahu.

Beberapa teman lelaki yang membawa sepeda motor menawarkan diri untuk mengantarkannya pulang. Tapi ia selalu menolak dengan halus. Dan kembali asyik membaca bukunya. Aku pun tak pernah tahu apa alasannya menolak.

Gadis itu. Selalu duduk menunggu. Bahkan hingga kami duduk di bangku SMA. Gadis itu, sungguh setia menunggu. Pernah kulihat dia sedang asyik membaca sebuah buku kecil.. ah tidak. Itu bukan buku, itu al-Qur'an ukuran saku. Ia sedang khusyuk membacanya.

Dan masih saja ia menolak niat teman-teman lelaki yang kali ini membawa mobil mewah mereka untuk mengantarkan si gadis tanpa nama itu pulang.

Ah, aku sudah gila. Untuk apa aku memperhatikan gadis itu hingga sepuluh tahun lamanya? Bahkan tanpa tahu siapa namanya.

Tahun ini, aku melanjutkan pendidikanku di luar kota. Bagaimana dengan gadis tanpa nama itu ya? Apa ia akan selalu menunggu? Apa dia akan satu fakultas denganku? atau setidaknya satu universitas. Aku tersenyum. Dan kemudian mengutuk diriku. Sebuah harapan yang kosong!
Sejak itu aku tak berani berharap, pada dia si gadis tanpa nama yang selalu setia menunggu di gerbang sekolahku.

Kini, aku sibuk dengan kuliahku. Dan hampir tak ada waktu untuk sekedar menoleh ke gerbang kampus. Selain jadwal datang dan perginya mahasiswa tidak seperti jadwal masuk sekolahnya anak sekolahan, aku merasa tak mungkin gadis tanpa nama itu ada di kota ini. Apalagi satu universitas denganku. Bilapun mungkin, aku akan menyesali letak gerbang kampus yang jauh dari fakultasku. Mungkin saja, saat ini dia sedang asyik membaca al-Qur'an kecilnya di gerbang kampus.
Ahhh, tak mungkinlah! Tak mungkin kebetulan-kebetulan itu terulang berkali-kali.

Hingga suatu hari, ketika aku harus bertemu seorang teman di sebuah fakultas. Ia masih di kelas. Aku duduk menunggunya di tangga dekat mushola fakultas itu. Dan... sekelebat sosok gadis itu muncul menyusuri lorong kelas, samar-samar kulihat ia memakai baju biru dengan jilbabnya yang menjuntai panjang dan kemudian menghilang. Apa itu dia? Atau mungkin aku salah lihat?

Ahh, aku ingin sekali bertanya pada temanku, apa dia melihat seorang gadis memakai baju biru dengan jilbab lebar hari ini? Siapa dia? Apakah dia gadis tanpa nama itu?
Ahh, tidak mungkin temanku mengenal gadis itu. Ada begitu banyak mahasiswa di fakultas ini. Angkatan baru saja hampir ribuan orang. Bagaimana bisa temanku itu mengenalnya? Betapa bodohnya, aku!
Pun, bila temanku mengenalnya, aku akan berbuat apa? Apa aku harus mengatakan bahwa aku adalah seorang pria yang mengamati dia sejak sepuluh tahun lalu? Ah, itu sama saja mempermalukan diriku sendiri.

Empat belas tahun sudah. Dan kini aku tersenyum. Tak perlu bersusah payah untuk tahu siapa gadis itu. Namanya telah tertulis dalam sebuah surat undangan berwarna biru laut yang kuterima siang ini. Dengan tinta emas tertulis namanya "Walimatul 'Ursy Rani Akbar dan Arief Rasyid." Namanya bersanding dengan nama seorang pria tampan. Namaku. :)

Aku tak perlu lagi bertanya-tanya dalam hatiku tentang siapa dia, siapa namanya dan apa yang dia tunggu selama sepuluh tahun yang lalu. Aku tinggal bertanya langsung padanya.

Dan kau tahu apa jawabannya atas tanyaku selama ini?

Sepuluh tahun lalu, yang membuatnya setia menunggu di gerbang sekolah adalah ayahnya. Menunggu ayahnya menjemputnya.

Mengapa ia menolak diantar pulang oleh teman lelaki?

Karena ia tak mau duduk diboncengan seorang lelakipun selain ayah dan suaminya kelak :)

Dan kau tahu, apa yang dilakukannya pada sisa waktu empat tahun itu?

Dia sedang menunggu calon suaminya menjemputnya. Dan itu aku! :)

Oh, sungguh dia gadis yang setia menunggu sembari menjaga diri dan menata hati :)



Cahaya Surga, 26.06.2014



Read More

Sendu yang Bertemu Rindu




Aku terpaku menatap langit yang merona kelabu

Sang bayu berdesir melantunkan irama sendu
Hatiku tergugu dijamah rindu
Tersedu-sedu ia, merindu.

Diriku hanya keseorangan memaknai sendu yang bertemu rindu
Sementara sang bayu terus saja melantunkan lagu rindu.

Tuhan, peluk hatiku
agar qalbu ini tak lagi merayu pada biru yang mengharu.
Sebab langit tak selamanya kelabu.

Tuhan peluk jiwaku
agar tertunduk malu saat sujud menghadap kepadaMu
Sebab Engkau tak pernah tinggalkan diriku yang tersedu-sedu merindu

PadaMu, kuserahkan
sendu yang bertemu rindu.

Nias, 23 Sya'ban 1435H

Read More

Menceritakan Kehidupan Pribadi Secara Terselubung :)



Hehehe.

Saya tertawa membaca judul postingan kali ini. Sebuah kalimat yang saya temukan di www.kampungfiksi.com (masbro dan mbaksis pengelola kampungfiksi, mohon izin ya penggalan kalimatnya saya copas... hehe).

Sebelum menjelaskan panjang lebar, kita maknai dahulu judul ini.
"MENCERITAKAN KEHIDUPAN PRIBADI SECARA TERSELUBUNG"
Artinya, seorang penulis, secara diam-diam menyertakan penggalan cerita, perasaan, kejadian dalam hidupnya ke dalam cerita fiksi yang ia tulis. Ada yang secara rapi menyelipkan, ada juga yang secara gamblang menggambarkan, ada juga yang berniat menyembunyikan tapi akhirnya ketahuan deh sama pembaca.. hehehe.

Nah, coba kita buat riset kecil-kecilan...
Punya facebook, kan? #inimahjanganditanya -_-
Nah, coba perhatikan teman-teman terdekatmu.
Belakangan dia sedang gencar ngupdate status apa? Nah, kira-kira dia sedang curhat gak tuh? Ketahuan deh. hehehe.
Tapi, tidak semua bisa terbaca secara nyata. Karena ada beberapa penulis yang pandai menyembunyikan kisah hidupnya di balik cerita yang ia tulis seolah itu cuma kisah fiksi yang ia munculkan sendiri. Yah.. tidak ada yang tahu kecuali dia dan Tuhan. Tapi, tetap saja berhati-hati karena bisa jadi yang ia tuliskan itu memang benar-benar kisah fiksi... #jadijanagnge'erduluan. Ok?

Baiklah, menanggapi hal ini, menurut saya itu sah-sah saja. Terkadang keping-keping kisah hidup yang kita alami memberi inspirasi dalam berkarya terutama bagi para penulis. Everything inspiring :)
Jadi, buat penulis selamat berkarya, terutama saya yang masih malu-malu keong (#ngutip kata-kata mbak Rincan) untuk menulis di blog ini. Hmmm, saya masih mencoba untuk belajar menulis untuk berbagi kisah yang barangkali bisa menginspirasi saya dan pembaca. Semoga bermanfaat.

NB : Setelah membaca tulisan ini, jangan coba-coba menerka-nerka bagian mana dari postingan saya yang saya selipkan kisah hidup saya secara terselubung ya!!

Hehehe.

Salam ukhuwah.


Read More

Gadis Berjilbab Hijau Muda yang Menjemput Cahaya



Malam. Langit telah menunjukkan pesonanya. Warna kelamnya mempertegas kilauan bintang yang berkedip-kedip. Ini telah larut. Bulan yang sedari tadi kuintip dari celah jendela kamar kostku menyunggingkan senyum terindahnya. Malam ini indah. Tapi hatiku gundah gelisah. Entah sudah berapa puluh kali aku berpindah-pindah posisi di kamarku yang mungil ini. Duduk, berdiri, rebah, bangun lagi, duduk, berdiri lagi. Bosan! Ada apa dengan hatiku?

Kuraba ponsel layar sentuhku, jari jemari menari dengan lincah membawaku terhanyut dalam dunia maya. Terhanyut, namun tak mampu menenggelamkan gelisah yang mendera hatiku. Apa sebenarnya yang kugelisahkan?

Entah sudah malam keberapa aku seperti ini. Hatiku tidak lagi mencintai malam. Mataku tidak lagi merindukan pejam. Ia hanya mematung menatap kelam. Pikiranku menerawang. Ia terhenti pada keping waktu kebersamaanku dengan Nadirah di suatu sore. Ada hal yang membuat hatiku terketuk-ketuk pada sepenggal kisah itu. Ketukan berbunyi senandung tanya. Yah! senandung tanya yang melantunkan gelisah di hatiku.

"Azmi, nanti sore sepulang kerja temani aku ke studio foto, bisa?" Gadis yang sebentar lagi akan berangkat umrah itu ingin kutemani berfoto untuk melengkapi dokumen umrahnya.

"Hmm, baiklah..."

Kami berjalan bersisian memasuki studio foto terdekat dari kantor.
Di ruang ganti, cermin memenuhi dinding ruangan yang hampir menyamai ukuran kamar kostku. Aku melihat cermin. Ada sesosok gadis muda yang cantik dengan rambut terurai sepanjang bahu. Itu aku. Hmm, CANTIK! namun... aku merasa ada yang kurang. Tapi, apa?

"Mi, bantuin dong, pasangin jilbabnya. Aku belum terbiasa."
Aku mencoba membantunya mengenakan jilbab putih yang sengaja ia bawa dari rumah. Kali ini, ia harus berfoto menggunakan jilbab karena itu salah satu syarat pendaftaran umrah. Pas photo memakai jilbab ukuran 4x6 cm.

Selesai. Kini, rambut lurusnya yang hitam telah tertutup dengan rapi oleh jilbab putihnya. Sempurna! Kecantikannya sempurna. Jilbab putih itu menjadikan kecantikannya terpancar dan lebih teduh. Meneduhkan hati. Ahhh, mungkinkah ini "sesuatu yang kurang" yang terbersit di hatiku tadi? Aku memandang Nadirah dan diriku secara bergantian di cermin itu. Hmmm, mungkinlah.

"Cantik gak, Mi?" dengan senyum manisnya ia melempar tanya yang sebenarnya ia sudah tahu jawabannya.
"Cantik, Nad... Tapi, sayangnya di kantor belum bisa ya," jawabku spontan. Entah mengapa aku berkata seperti itu. 

"Ada niat, Mi?"

Aku hanya tersenyum.
Niat? Sepertinya ia pernah singgah di hatiku beberapa waktu lalu. Mengetuk-ngetuk dinding hatiku setelah aku membaca sebuah postingan seseorang tentang jilbab yang ia kirimkan ke inbox Facebook ku. Yah, kini ketukan-ketukan itu kembali hadir, bahkan kini ia terdengar berirama syahdu menyanyikan lagu rindu. Rindu pada ketenangan jiwa. Namun, hatiku belum mampu menari bersama lantunannya. Karena... ahh mungkin aku akan kehilangan pekerjaanku bila aku memilih untuk mendengar ketukan-ketukan yang berirama syahdu ini.

Yah, inilah yang ternyata kugundahkan sedari tadi.


***

Malam berikutnya. Langit masih indah seperti malam-malam kemarin bahkan lebih indah lagi. Malam ini, langit bermandikan cahaya. Seperti hatiku yang kini bukan hanya sekedar melantunkan lagu rindu tetapi telah berdansa dan terhanyut dalam kilauan cahaya seolah cahaya langit telah menyinari ruang hatiku, dan aku pun menjemputnya dengan senyuman terindah.

Kini, tak ada lagi kegelisahan yang mampu menggelapkan sudut ruang hatiku. Bilapun ada, mungkin hanya sepersekiannya yang sedikit mengusik. Tapi hatiku telah teguh. Seteguh langkah kaki yang menggerakkan hatiku membeli sebuah jilbab hijau muda di sebuah butik muslimah dekat kos-kosanku. Aku duduk di depan cermin dan mulai memakainya. Aku tersenyum. Aku seperti melihat sosok lain dalam cermin itu. Apa itu aku?  Yah! itu aku. Terlihat anggun. Ada keteduhan yang menjelma dalam jiwa ini.

Kusiapkan hatiku  untuk memulai hari yang baru bersama dengan jilbab ini besok pagi. Karena, besok akan menjadi saksi terlahirnya hati yang baru. Aku telah siap dengan segala konsekuensi atas perubahan penampilanku. Bismillah. Kuserahkan segalanya pada Allah.


***

Seorang gadis berjilbab hijau muda berjalan dengan penuh bahagia menuju sebuah kantor tempat ia bekerja. Sedari subuh, ahh tidak. Sedari malam sebenarnya, ia telah melantunkan beribu-ribu doa kepada Tuhannya atas pilihan yang telah ia teguhkan dalam hatinya. Ia ingin menjadi insan  baru yang patuh atas titah Tuhannya. Meski secercah kegundahan masih saja bersemayam di hatinya, tapi ia yakin bahwa Tuhan takkan pernah meninggalkan dirinya. Yah, gadis berjilbab hijau muda yang menjemput cahaya. Itulah aku.

"Eeeh, ada anak baru ya.." rekan satu divisi mencandaiku.
"Bukan anak baru, tapi anak lama dengan hati yang baru..." sahut Nadirah yang tiba-tiba datang dan merangkul bahuku. Aku tersenyum.

"Selamat ya Mi, selamat telah meneguhkan hati... Kamu jadi tambah cantik, seperti seorang bidadari yang berkilaun cahaya..." tambahnya lagi membuatku semakin mantap dengan keputusanku.

"Kami mendukungmu, Miiiiiiii...!!" teman-teman lain bersahut-sahutan memberi dukungan dan semangat. Ooh, sungguh sesuatu yang "wah" memang memakai jilbab di kantor ini dan aku yang memulainya setelah mendapat cahaya dari Allah.

Sudah dua hari aku memakai jilbab ke kantor dan hari ini cobaan itu datang. Hatiku bergetar, namun ia tetap tegar.

"Nona Azmi Kirana, sebaiknya pertimbangkan kembali keputusan anda memakai jilbab di kantor ini. Hal ini akan mengganggu kemajuan karir anda. Beberapa hari yang lalu, permohonan promosi kenaikan jabatan anda ditangguhkan." 

Perkataan yang keluar dari mulut kepala divisiku menohok hatiku teramat dalam. Sudah kuduga hal ini terjadi. Aku limbung. Keteguhan yang telah kusiapkan jauh-jauh hari diuji hari ini. Aku bimbang. Langkahku gontai. Aku benar-benar bingung. Airmataku mengalir tak tertahankan. Allah, kuatkan hatiku...
***
Aku menangis dalam sujud panjangku. Allah, maafkanlah diriku yang lemah ini. Mengapa ia teramat takut kehilangan pekerjaan? Harusnya ia takut pada Dzat yang memberikan rezeki...
Aku menyesalkan diriku yang goyah hanya karena dunia. Sudah dua hari kulepas jilbabku hanya karena takut diriku tak mendapatkan posisi yang kuidam-idamkan sejak lama di kantor itu. Hatiku tersiksa. Ia berhenti menari tapi secercah cahaya masih setia menyinari. Ia tersedu-sedu merindu... Merindu kasih Tuhannya.

Ahh, aku tak ingin terus seperti ini. Terhanyut dalam gelombang kegelisahan. Aku harus menentukan sikap. Terkadang, dalam meraih kebahagiaan harus ada pengorbanan. Kembali kuhimpun keteguhan dalam hati ini. Aku hanya yakin, keputusan yang diambil dengan ketulusan akan menghadirkan keikhlasan.

Kuraih laptop hijauku, tak lama kuketik sebuah kalimat yang menjadi penentu atas kegundahan yang mendera batinku.

"SURAT PENGUNDURAN DIRI"

Aku memilih resign, dan menjemput cahaya dari langit yang berkilauan menerangi hatiku yang sunyi ini. Bismillah.


***


Kuhirup udara pagi kampung halamanku.
Terasa kesejukan memenuhi rongga paru-paruku, yang kemudian mengalir di setiap nadiku. Memberi energi pada jiwa yang tenang. Yah, kini jiwaku benar-benar tenang karena telah memilih keputusan yang benar.
Setelah melayangkan surat pengunduran diri, aku memutuskan untuk menenangkan diri di kampung halaman. Mencoba menghimpun kembali keping-keping semangat dan kebahagiaan bersama ibunda tercinta.
Ibu sedikit terkejut dengan keputusanku keluar dari pekerjaan. Namun, ia tetap memberi dukungan terbaiknya untukku.Yah, anggap saja tahun ini aku mudik lebih awal. Sebulan sebelum ramadhan. Ingin kuisi ramadhan kali ini dengan ketenangan yang khusyuk. Kupersiapkan segalanya di bulan Sya'ban. Mengisi diri yang hampa dengan mendekatkan diri pada yang Kuasa. Yang hilang jangan ditangisi, karena Tuhan akan memberi lebih dari itu. Aku yakin itu. Kini, jilbab itu dengan setia menjagaku. Menjaga diriku, menjaga auratku, menjaga hatiku. Sepenuhnya.

Ramadhan kali ini terasa indah, berkumpul dengan keluarga, sahur dan berbuka bersama. Sholat berjama'ah dan melantunkan ayat-ayat suci Allah. Benar-benar memberi kekuatan yang dahsyat seumpama tanah gersang yang dibasahi oleh hujan yang lebat. Menghidupkan.

Ramadhan berlalu, Syawalpun di ufuk rindu.
Sedih berlalu, bahagiapun memelukku.
Allah benar-benar mendengar doaku. Kau tahu apa itu? seminggu lagi aku harus kembali ke Jakarta, karena aku sudah di terima kerja! Di sebuah perusahaan ternama dan tentu saja disana tak ada larangan memakai jilbab.
Allah memang sebaik-baik pembuat rencana. Ia gantikan sedihku dengan sesuatu yang lebih bermakna. Terimakasih Allah. Kini, aku leluasa menari dalam kilauan cahaya yang terang benderang dari langit. Aku menjemputnya. Menjemput cahaya.


# Cerpen ini dipersembahkan untuk kakanda tercinta yang telah menjemput cahayaNya. Mari berdoa untuk keistiqomahannya dan untuk kita semua yang telah memilih jilbab sebagai identitas kita. :)

Saat hujan bulan juni membasahi pulau Nias,
20 Sya'ban 1435H

Cahaya Surga

    
Read More

Idealis Penyelaras



Tipe Idealis Penyelaras dikenali dari kepribadiannya yang kompleks dan memiliki begitu banyak pemikiran dan perasaan. Mereka orang-orang yang pada dasarnya bersifat hangat dan penuh pengertian. Tipe Idealis Penyelaras berharap banyak pada diri mereka sendiri dan orang lain. Mereka memiliki pemahaman yang kuat tentang sifat-sifat manusia dan seringnya menilai karakter dengan sangat baik. Namun mereka lebih sering menyimpan perasaan dan hanya mencurahkan pemikiran serta perasaan mereka kepada sedikit orang yang mereka percaya. Mereka sangat terluka jika ditolak atau dikritik. Tipe Idealis Penyelaras menganggap konflik sebagai situasi yang tidak menyenangkan dan lebih menyukai hubungan harmonis. Namun demikian, jika pencapaian sebuah target tertentu sangat penting bagi mereka, mereka dapat dengan berani mengerahkan seluruh tekad mereka hingga cenderung keras kepala. 

Tipe Idealis Penyelaras memiliki fantasi yang hidup, intuisi, dan seringkali sangat kreatif. Begitu berkutat dengan sebuah proyek, mereka melakukan segala daya upaya untuk mencapai tujuan-tujuan mereka. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka sering membuktikan diri sebagai pemecah masalah ulung. Mereka suka mendalami hingga ke akar permasalahan dan memiliki sifat ingin tahu alamiah serta haus akan pengetahuan. Pada saat bersamaan, mereka berorientasi praktis, terorganisir dengan baik, dan siap menangani situasi-situasi rumit dengan cara terstruktur dan pertimbangan matang. Ketika mereka berkonsentrasi pada sesuatu, mereka melakukannya dengan seratus persen – mereka sering begitu terbenam dalam sebuah pekerjaan sehingga melupakan hal lain di sekitar mereka. Itulah rahasia kesuksesan profesional mereka yang seringkali gilang gemilang.

Sebagai pasangan, tipe Idealis Penyelaras setia dan dapat diandalkan; hubungan permanen sangat penting bagi mereka. Mereka jarang jatuh cinta hingga mabuk kepayang dan juga tidak menyukai hubungan-hubungan asmara singkat. Kadang-kadang mereka sulit menunjukkan rasa sayang mereka dengan jelas sekalipun perasaan mereka dalam dan tulus. Dalam hal lingkaran pertemanan, semboyan mereka adalah: sedikit berarti lebih banyak! Sejauh menyangkut kenalan baru, mereka hanya dapat didekati hingga jarak tertentu; mereka lebih suka mencurahkan tenaga ke dalam pertemanan akrab yang jumlahnya sedikit. Tuntutan mereka kepada teman dan pasangan mereka sangat tinggi. Karena mereka tidak menyukai konflik, mereka akan diam sejenak sebelum menyuarakan masalah-masalah yang tidak memuaskan dan, ketika melakukannya, mereka berusaha sangat keras untuk tidak menyakiti siapa pun karenanya.

Dinukil dari sebuah sumber :)


Read More

Karena Aku Malu...



Suatu senja di sebuah taman, aku duduk dengan seorang teman masa kecil yang sudah lama tidak berjumpa. Kami berpisah karena dia dan keluarganya pindah ke kota lain.
Aku menatapnya sembari menahan sejuta tanya. Lalu waktu seakan telah mengubahnya menjadi sosok yang lain. Aku mencoba mencari sisa-sisa masa kecil yang tertinggal dalam dirinya. Yah, rambut hitamnya yang ikal masih seperti dulu, tapi dulu rambut itu terbalut oleh jilbab yang menutupi. Baris-baris tanya semakin memenuhi hatiku ditambah lagi kehadiran seorang pria di sampingnya? Siapa dia? Kupikir pertemuan yang direncanakan sejak lama ini hanya dihadiri olehku dan dirinya, lalu itu siapa?

"Di taman ini selalu rame ya, Ai?" kau menatapku dengan senyum khas milikmu.
"Iya... tempat yang paling nyaman untuk menikmati senja." Aku sengaja memilih tempat paling nyaman agar kita bisa dengan leluasa bernostalgia mengenang kisah kita dahulu.

"Oh ya kenalin, Ai.. Ini pacarku..." Sambil menarik tangan pria yang sedari tadi setia mengikuti gerakmu ke manapun.
Pria bertubuh tegap itu menyodorkan tangannya, hendak bersalaman. Aku buru-buru mengatupkan tanganku. Pria itu tersenyum sambil menarik tangannya kembali. "Maaf, mbak... Saya gak tau kalo mbak gak salaman sama lawan jenis."

Aku hanya mengangguk.

"Kamu banyak berubah ya, Ai..." katamu lagi.

"Semakin berlalunya waktu, pasti ada perubahan, Sa..." jawabku tersenyum. Aku merasa kurang nyaman dengan kehadiran pria itu di antara kami. Bisakah dia menjauh sebentar?

"Elsa juga banyak berubah..." Aku berharap dia mengerti maksudku berkata "banyak berubah."

"Oh.. tadi buru-buru ke sini, Ai.. jadi gak sempat pakai jilbab. Tapi, kalo ke kampus pake kok, Ai..."

Aku hanya menarik nafas panjang. Apa yang membuatmu berubah?

"Ai makin cantik, tambah sholeha lagi, jilbabnya lebih lebar dari yang dulu" katamu sambil merapikan jilbabku yang terhembus angin..
"Siapa pacarnya sekarang?" 

Lagi-lagi, pertanyaan ini muncul, seolah ketika reuni, ini adalah pertanyaan yang wajib ditanyakan. Seperti beberapa hari yang lalu, teman lain juga menanyakan hal ini. Apa ini sesuatu yang penting untuk diketahui?

"Ai gak mau pacaran lagi, Sa..." jawabku.

"Kenapa?"

"Karena... Ai malu, Sa... malu."
Aku melihat pria itu perlahan beranjak pergi meninggalkan kami. Mungkin dia menyadari kami butuh waktu untuk berdua.

"Kenapa malu, Ai? Dulu, waktu kita SMA Ai pacaran sama kakak itu sembunyi-sembunyi karena takut ketahuan mama sama papa Ai. Nah, sekarang kan udah jauh  dari orangtua..."

Aku tersenyum. Mencoba mencari kata yang tepat agar penjelasanku tidak menyinggung hatinya tapi lebih terdengar seperti menasehati diri sendiri.

"Ai malu sama Allah, Sa... Malu karena telah menduakan cinta ini yang seharusnya hanya untuk Allah."

"Maksud, Ai? Sa gak ngerti..."

Oooh, Elsaku sayang... Mengapa dirimu benar-benar berubah? Bukankah dulu, dirimu yang selalu mengingatkan dan menasehatiku kalau pacaran itu adalah hal yang penuh dosa?

"Dulu, ketika Ai pacaran, yang selalu diingat, dirindukan dan memenuhi hati dan pikiran Ai pasti dia. Selalu dia. Dia yang bukan siapa-siapa sebenarnya. Dia yang tidak punya andil dalam hidup Ai. Sementara Allah yang memberi kehidupan, yang memberi nafas, yang memberi kasih sayang, Ai lupakan begitu saja. Hanya sedikit waktu yang ada untuk mengingat Allah, bahkan mungkin tak ada. Ai merasa sedang mendurhakai Allah. Ai telah mengganti posisi Allah di hati ini dengan seorang pria yang tak sebanding dengan Allah yang tiada bandingannya."

Aku menghela nafas.

"Mungkin benar, sekarang Ai jauh dari orangtua, jauh dari pengawasan mereka. Mereka juga gak bakalan tau apa yang Ai lakukan di sini... Tapi, Allah Maha Tahu, Sa. Ai malu sama Allah bila seandainya menggandeng tangan seorang pria yang bukan mahram, duduk berdekatan tanpa jarak, dan...dan..dan... melakukan hal-hal yang dilarang sama Allah..."

Aku sengaja tak melihat reaksimu setelah mendengarkan kata-kataku, karena memang yang terucap barusan adalah nasihat untukku.

Aku terdiam. Begitupun dirimu. Terhanyut dengan pikiran masing-masing.

"Elsa..."

"Ya?"

"Ai berharap kita masih bisa bersahabat seperti dulu. Ai rindu mendengar nasihat-nasihat Elsa."

Kali ini dirimu yang menghela nafas panjang.

"Sepertinya Elsa yang butuh nasihat darimu, Ai..."

"In sya Allah kita akan selalu menasihati dalam kebaikan, Sa."

Pria itu kini datang mendekat ke arah kami. Ia memberi isyarat untuk segera pulang.

"Kapan-kapan kita ketemuan lagi ya Ai..."

"In sya Allah, Sa."

"Lain kali kalau ketemu, Elsa pake jilbab deh..." jawabmu tersenyum.

"Iya, Sa. Elsa lebih cantik kalau pakai jilbab." Aku membalas senyumnya.

Semoga pertemuan ini memberikan kebaikan untuk kita, Sa. Walau waktu terus berlalu, kita harus selalu melaju bersama kebaikan. Semoga Allah selalu mencintaimu, Sa.



Read More

Satu Cinta




Engkau satu cinta yang selamanya aku cari
Tiada waktu ku tinggalkan demi cinta ku kepada mu
Walau seribu rintangan kan menghadang dalam diri
Ku teguhkan hati ini hanya pada Mu
Ku pasrahkan


_Star five

Aku tak tahu, apakah aku akan kembali ke sini lagi... Ke kampung halamanku yang menyimpan pahit manis kisah perjalanan hidupku. Untuk sekarang, aku memang harus pergi demi satu cinta yang selama ini kucari. 

***

Ramadhan, 1433 Hijriyah

Langit malam ini penuh bintang berkilauan. Bulan masih berbentuk sabit, tentu saja karena ini masih awal Ramadhan. Ramadhan tahun ini membawaku pulang. Bukan karena ingin mudik lebih awal atau ingin berkumpul dengan keluarga menjalankan ibadah di bulan puasa bersama-sama. Alasan kedua itu tidak mungkin kulakukan. Karena sudah jelas ada tembok besar pemisah antara aku dan keluargaku. Tembok keyakinan.

Inilah kali pertama aku menginjakkan kaki di kampung halamanku sejak aku memilih islam. Sebenarnya, aku sangat merindukan kampung halaman, namun aku tak ingin pulang sebelum keislaman ini kokoh di dalam jiwaku. Sejak mengucapkan syahadat cinta, aku mondok di pesantren selama tiga tahun. Aku ingin mengisi jiwaku dengan ilmu agama yang aku benar-benar buta tentangnya. Tapi, kalimat La ilaha illallah sudah bersemayam kuat dalam relung jiwa, hingga aku berani menanggung kosekuensi tidak diakui sebagai anak. Sungguh menyakitkan. Tapi inilah pilihan hidup yang harus kulalui demi satu cinta. Cintaku pada islam, cintaku pada Allah.

Malam semakin larut, aku ingin segera tertidur namun mata ini belum juga terpejam. Pertemuan besok sedikit membuatku gundah gelisah. Pertemuan dengan kedua orangtuaku di suatu tempat yang tak pernah terbersit di benakku. Kantor polisi. Pertemuan ini ternyata bermuara di sana.

Masih tersimpan jelas dalam memoarku, jejak-jejak perjalanan hidupku menemukan cinta ini.
Setelah menyelesaikan kuliah di universitas keagamaan, aku tak lantas pulang kampung. Aku ingin memperoleh pengalaman kerja di kota. Kala itu, bapak dan ibu mengizinkan. Siapa sangka? Menunda kepulangan adalah pilihan terbaik.

Hari-hari usai wisuda berlalu, tak disangka suatu ketika takdir mempertemukan aku kembali dengan seorang pemuda yang dahulu pernah bekerja di kampungku. Dia dan rekan-rekan kerjanya melaksanakan proyek pembangunan di sana. Merekalah orang islam pertama yang masuk ke kampung kami, karena seluruh masyarakat di kampung menganut keyakinan yang sama dengan kami. Dulu, kami sering diskusi seputar agama. Dari dialah aku mengenal islam.

Takdir mempertemukan kami di sini. Aku kembali membuka ruang diskusi dengannya seperti dulu. Dari diskusi inilah semakin hari aku semakin tertarik dengan islam. Hingga Allah berikan aku hidayah terindah. Hatiku memilih islam. Setelah hatiku mantap dengan agama ini, akhirnya aku mengucapkan kalimat Syahadat. Yah, syahadat cinta. Kini, aku bukan lagi yang dulu, aku telah terlahir kembali sebagai seorang muslim. Keberkahan terus mengalir dalam hidupku. Pemuda itu, yang menyadarkanku akan agama yang indah ini akhirnya melamarku. Kami pun menikah tanpa restu dari kedua orangtuaku. Meski ini bukan kehendak hatiku, namun bapak dan ibu dari awal memang tak merestuiku berpindah agama apalagi menikah dengan seorang muslim. Kebahagiaan semakin bertambah dengan kehadiran bayi laki-laki yang mungil, buah cinta kami. 

Dua tahun usia pernikahan kami, bapak dan ibu datang mengujungiku. Mereka ingin melihat dan menggendong cucunya. Inilah kali pertama pertemuan kami setelah aku menjadi seorang muslimah.
Aku mengganggap kedatangan bapak dan ibu adalah sebuah tanda keikhlasan mereka akan jalan hidup yang kini kupilih. Tak sempat terrpikirkan olehku bahwa ada sesuatu di balik pertemuan itu. Aku hanya bahagia bisa bertemu dan berkumpul kembali dengan kedua orangtuaku.

"Ayahmu ingin mengajak Ammar ke kampung bertemu dengan keluarga di sana."
Sehari sebelum Bapak dan Ibu pulang, Ibu mencoba membujukku mengizinkan Ammar pulang bersama mereka.
"Tidak lama, seminggu saja. Bapak akan mengantar Ammar lagi ke sini." Ibu terus berusaha membujuk. Namun, hati ini masih berat. Banyak hal yang harus dipertimbangkan.
"Biarlah ini menjadi hadiah dari ketulusan kami merelakanmu berpindah agama." Lagi-lagi, Ibu menggunakan cara ini untuk meluluhkan hatiku.
Entah apa yang kupikirkan saat itu, pada akhirnya aku mengizinkan rencana Bapak dan Ibu membawa Ammar, seminggu. Ya hanya seminggu saja. Tak boleh lebih dari itu.

Ahh, seminggu itu ternyata hanya sebuah janji yang tak pernah tertunaikan. Seminggu. Itu hanyalah sebuah alasan. Atau mungkin bisa dikatakan sebuah jebakan. Aku tak menyangka Bapak dan Ibu menggunakan cara itu untuk mengambil Ammar dariku. Aaahh, mereka menggunakan Ammar sebagai senjata untuk mengembalikanku pada kondisi dahulu. Hal yang tak pernah terpikirkan sedikitpun. Kini, tidak lagi seminggu tapi  setahun!  setahun sudah mereka memisahkanku dengan Ammar.

"Kami akan mengembalikan Ammar asalkan kamu kembali pada agama kita. Agama nenek moyang kita." Sebuah ultimatum yang menyesakkan jiwa. Bagaimana mungkin aku mengabulkan permintaan kedua orangtuaku? Bagaimana mungkin aku berpaling dari cahaya yang menerangi jiwaku yang selama lebih 25 tahun tenggelam dalam kegelapan??

Tak ada jalan lain. Aku terpaksa menempuh jalan ini, Bu. Mengambil Ammar dengan jalur hukum yang mungkin akan menambah kebencian kalian padaku. Maafkanlah, anakmu ini...

Malam semakin larut, kututup hari ini dengan untaian doa.  Semoga Allah melindungiku dan keluargaku, menghidupkan kami dalam islam dan mematikan kami pula dalam keadaan islam.

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan muslim(Ali Imran : 102)

***

"Tega sekali kamu melakukan ini pada orangtuamu."
Aku tak mampu menatap wajah Ibu. Aku tahu kemarahan itu sudah memenuhi ruang hatinya, hingga ia tak mampu lagi memikirkan keadaanku. Sudah setahun  aku terpisah dari anakku, apakah sebuah kedurhakaan pabila aku ingin menginginkan darah dagingku sendiri??

Ibu tak datang sendiri. Seluruh kakak-kakakku, paman, bibi, dan sepupu-sepupuku datang berbondong-bondong. Aku menelan semua kata-kata pahit yang terlontar dari mereka. Tak ada gunanya melawan. Yang ku ingin saat ini adalah Ammar pulang bersamaku.

"Ayo pulang, kita bicarakan ini baik-baik." Ibu mencoba berunding denganku.

"Tidak, Bu. Seandainya saja Ibu menepati janji Ibu, aku mungkin tak kan menggunakan cara ini untuk mengambil Ammar. Apapun yang terjadi, aku harus membawa Ammar bersamaku."

"Biarkan Ammar tinggal bersama kami. Toh, sebentar lagi kamu akan melahirkan, kamu tidak akan merasakan kehilangan karena kehadiran Ammar akan digantikan oleh adiknya." Ibu tetap saja bersikeras. Ooh, Ibu tidakkah engkau menaruh kasihan sedikit saja pada anakmu ini? Bagaimana mungkin seorang Ibu bisa dipisahkan dengan anak kandungnya yang masih sekecil itu??

Kami terus saja berdebat. Namun, secara hukum, akulah yang berhak atas Ammar.

"Tak ada gunanya Ibu bersikeras seperti itu. Secara hukum, Ibu Nur Hidayah sebagai  ibu kandung dari anak ini yang berhak mengasuh anak ini."
Pihak kepolisian mencoba menengahi kami.
"Mau dibawa ke pengadilan pun, akan sia-sia dan membuang banyak waktu dan tenaga, lebih baik, Ibu menempuh jalan damai saja."

"Tidak bisa, Pak. Anak ini adalah keturunan kami. Kami juga punya hak atas anak ini. Apalagi, Ibunya  sebentar lagi akan melahirkan seorang anak. Harusnya dia merelakan anak ini pada kami." Ibu tetap saja ngotot.

"Kalau Ibu tetap bersikeras, silahkan Ibu menempuh jalur hukum. Walau bagaimanapun, kami pihak kepolisian tetap akan menjaga Ibu Nur Hidayah dan mengantarkan beliau pulang dengan selamat sampai ke rumahnya bersama dengan anak ini."

Ibu menatapku dengan tajam. "Pergilah! bawa anakmu! Jangan pernah kembali lagi ke sini. Aku takkan mengakuimu sebagai anak lagi!"

***

Hari ini langit sangat cerah.
Biru memesona. Sinar mentari menyemburat di antara celah-celah awan yang berarak.
Dengan segenap rasa di jiwa, kulangkahkan kaki meninggalkan kampung halamanku. Entah kapan dan bagaimana aku bisa kembali lagi ke sini. Hanya Allah yang tahu.
Yang harus kutempuh saat ini adalah mengarungi perjalanan panjang kembali ke rumah bersama Ammar.
Menjalani hidup menjadi seorang istri, seorang ibu dan seorang muslimah demi satu cinta, Cintaku kepada Allah.

Ramadhan kali ini, menjadi saksi bahwa Allah tak pernah meninggalkan hamba yang datang kepadaNya. 




Satu cinta, sebuah kisah pada Ramadhan 2 tahun yang lalu. Semoga Allah senantiasa melindungi beliau dan keluarganya. Trimakasih untuk sepenggal kisahmu, semoga semakin banyak hamba Allah yang meneguhkan cintanya pada agama ini. Sepertimu.

10 Sya'ban 1435H




Read More

Ketika Sholat "Berbicara"



Bismillahirrahmanirrahim...
Aku adalah tiang penyangga agama ini. Rabbku mengutamakan aku dari ibadah yang lain dan telah mewajibkan untuk memerangi orang yang telah meninggalkanku. Tapi, mengapa kau merobohkan tiang-tiang ini dengan meninggalkan dan menghinakanku?

Aku adalah pertanyaan pertama yang akan dihisab di hari pembalasan. Lalu bagaimana kau akan menjawabnya sementara dirimu hanya berleha-leha ketika azan berkumandang? Apa yang akan kau jawab, sementara semua amal shalihmu tiada berguna, sekalipun sebesar gunung. Apakah kau ingin menjadi orang-orang yang merugi di akhirat kelak?

Aku adalah pembelamu di dalam kegelapan kubur. Akulah yang akan menolak malaikat azab dan hisab yang buruk padamu. Aku adalah penjaga terbaik bagimu. Perbaikilah hubunganmu denganku sebelum kematian datang dan penyesalan ketika itu tiada berguna.
"hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: "Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia) agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampal hari mereka dibangkitkan" (Al-mu'minuun : 99-100)

Aku adalah pilar yang memisahkanmu dengan kekufuran. Apakah kau mengira segala keagungan yang kumiliki ini bisa didapatkan dengan menggerakkan lidah dan tubuhmu tanpa kehadiran hati?

Aku adalah cahaya penyelamat bagimu di hari kiamat kelak. Pabila engkau tidak memeliharaku maka lisan Rasulullah telah berkata bahwa di akhirat engkau akan bersama-sama dengan Qarun, Fir’aun, Haaman, dan Ubay bin Khalaf, para pengingkar.

Aku adalah jalinan yang menghubungkanmu dengan Rabbmu. Lalu, mengapa kau menyia-nyiakanku bahkan melupakanku. Aku adalah tali yang menyambungkanmu dengan surga. Tapi, engkau masih saja mengabaikanku. Apakah kau ingin mendapatkan pertolongan Rabbmu dan ingin masuk surga dengan angan-anganmu tanpa mendekatiku?

Aku adalah bukti ketundukanmu kepada Allah. Bentuk kepatuhan dan kesyukuranmu terhadap segala nikmat yang telah diberikanNya dalam kehidupanmu. Tapi, sungguh aku heran, mengapa engkau masih saja melalaikanku. Apakah engkau tak takut segala nikmat itu dicabut?

Aku adalah simbol kedekatanmu kepada Allah. Sejauh mana kedekatanmu dengan Allah dapat diukur dari seberapa sering engkau menjumpai Allah dengan khusyuk mendirikanku.

Aku adalah hadiahmu yang engkau kirimkan kepada Allah. Maka, apakah engkau akan mengirimkan hadiah kosong kepada Dzat yang Maha Kaya? Engkaulah yang menentukan hadiah terbaik yang hendak engkau berikan kepada Allah. Sesungguhnya Allah itu Dzat yang Maha Tayyib dan dia takkan sudi menerima kecuali yang tayyib. Maka, dirikanlah aku tanpa tergesa-gesa, hadirkan hatimu.

Aku adalah penyejuk hati. Hatimu yang gersang karena jauh dari mengingat Allah akan sejuk setelah engkau bersegera mendatangiku. Namun, jika tidak maka hatimu akan gersang, hawa nafsu dan panasnya syahwat akan segera menguasaimu dan mematikan hatimu.

Aku adalah sungaimu yang engkau gunakan untuk mandi lima kali sehari, untuk membersihkanmu dari berbagai kemungkaran dan kerusakan yang merugikan. Jika dirimu terkotori dengan noda-noda dosa maka jadikan aku sahabatmu! Tidak ada selain aku yang mampu membasuh dan membersihkanmu dan mengembalikanmu menjadi bersih seperti semula.

Aku adalah salah satu di antara dua posisi berdiri di hadapan Tuhanmu, ketika berdiri mengerjakan sholat dan berdiri pada hari kiamat. Jika engkau melakukan penghadapan yang baik ketika berdiri melaksanakanku maka akan ringan bagimu melakukan penghadapan kedua. Jika tidak, maka keadaanmu akan jauh lebih mengerikan dari yang bisa dibayangkan.

Lalu, apa yang sedang kau tunggu??
mengapa engkau masih saja duduk sambil tertawa riang ketika panggilan Tuhanmu dikumandangkan?
mengapa engkau masih saja menarik selimut ketika suara penyeruNya telah diperdengarkan?
mengapa engkau masih saja sibuk dengan urusan dunia  seolah-olah kematian itu tak pernah datang?
Apakah dunia akan menyelamatkanmu dari pedihnya kehidupan akhirat yang sebenarnya?

Apa yang sedang kau tunggu??
Bergegaslah membasuh dirimu dengan wudhu, sucikan jiwamu. Berdirilah menghadapNya, rukuk dan bersujudlah kepadaNya dengan sepenuh jiwa.



Sebuah renungan mengingatkan diri sendiri
Nias, 7 Sya'ban 1435H
Read More

Pesona yang Terlupa



Bismillahirrahmaanirrahiim

Dengan mengharap ridho Allah SWT, izinkanlah aku menawarkan diriku untukmu.

Namaku adalah Sya'ban. Mungkin tidak banyak orang yang mengenalku. Namaku bisa saja terdengar sangat asing. Mungkin orang akan mengiraku "sorban", atau lebih parah lagi mengiraku "lakban"...

Sejujurnya, aku merasa iri dengan saudaraku yang telah mendahuluiku dan yang akan menyusulku. Mereka lebih terkenal dariku. Aku iri pada saudaraku yang menyapamu lebih dulu, Rajab namanya. Sementara yang akan hadir adalah yang paling mulia dan indah di antara kami, ialah Ramadhan.

Orang-orang banyak melupakanku. Padahal aku juga dicipta dengan keindahan yang merona dan kebaikan yang menyamudera.

Beruntung, sungguh beruntung nasibku. Rasulullah Muhammad SAW pernah menyanjungku dengan lisannya yang mulia...

"Wahai Rasulullah, aku tidak pernah melihatmu memperbanyak berpuasa (selain Ramadhan) kecuali pada bulan Sya’ban?" begitu tanya Usama Bin Zaid.
Rasulullah SAW pun menjawab, ”Itu bulan dimana manusia banyak melupakannya antara Rajab dan Ramadhan, di bulan itu perbuatan dan amal baik diangkat ke Tuhan semesta alam, maka aku ingin ketika amalku diangkat, aku dalam keadaan puasa”. (HR. Abu Dawud dan Nasa’i).

Ya, aku datang ke hadapanmu. Menawarimu cawan-cawan berisi kebaikan-kebaikan yang besar. Agar matamu berpaling pada pesonaku. Dan mantab memenangkan hatiku.

Ingatkah engkau bahwa Ibnu Rajab pernah berkata berkata: "Puasa dibulan sya'ban lebih utama daripada puasa dibulan-bulan haram, dan sebaik-baik amalan sunnah adalah yang dilakukan ketika dekat dengan bulan suci Ramadhan baik sebelum maupun sesudahnya, maka puasa pada bulan ini kedudukannya seperti sunnah-sunnah rawatib sebelum atau sesudah fardhu dan berfungsi untuk melengkapi jika ada kekukarangan pada amalan fardhu tersebut. Demikian pula puasa sebelum dan sesudah Ramadhan memiliki keutamaan lebih dibanding puasa-puasa lain yang bersifat mutlak atau umum. Oleh karena itu puasa yang dilakukan ketika sudah mendekati Ramadhan lebih utama dibanding puasa-puasa yang dilakukan jauh dari bulan suci ini"?

Uhm... Orang bilang, "tak kenal, maka taaruf". Dan aku ingin sekali engkau mentaarufi diriku. Jauh lebih dalam. Melebihi palung di celah bumi. Temuilah aku. Bahwa aku adalah mutiara yang terpendam. Aku tidak terkenal. Aku pun hanya yang terlupa. Tapi aku tetaplah mutiara yang bersinar. Yang menanti pinanganmu dengan binar.

Sungguh, bila engkau berbuat ibadah bersamaku yang kala itu banyak orang lupa terhadapku, maka menjadi orang yang ikhlas adalah buahnya lantaran kau terlatih oleh kesunyian. Sebab engkau beribadah
bukan karena apa yang mengitarimu. Tapi karena kesungguhanmu untuk menghamba kepada Rabb-mu. Rabb kita.

Kuberharap, buah dari cintamu kepadaku akan segera ranum. Buah yang melahirkan cinta, pada Ramadhan yang mulia.

Ku 'kan setia menunggumu...
Dalam sepi nan syahdu...
Semoga engkau segera berminat meminang kemuliaanku...

Salam Cinta dari Pesona Yang Terlupa,

@Sya'ban
Read More

Lebah Gelombang Ke-3 (Macam judul buku kan?); Trilogi 3 Lebah




Alhamdulillah, tulisan 3 LEBAH kembali hadir yang kali ini dirangkai dan dibingkai oleh lebah ke-3 di bumi Kampar, Riau, Rincan Zhaw :)

Baca  Trilogi 3 Lebah secara utuh biar dapet alur ceritanya.. Ok? :D




3 Lebah (versi lebah ke-3)

Dahulu kala, (hampir 6 tahun yang lalu tepatnya), ketika saya menginjakkan kaki untuk pertama kali di Fakultas Kesehatan Masyarakat itu, saya tak pernah menyangka sama sekali tak pernah menyangka, akan tersesat terlalu jauh hingga tak tau jalan pulang (#eh) di jalan yang, kalo kita ngambil bahasanya Rahmi sang lebah ke-2 yang fenomenal cetar membahana badai kalo bikin tulisan itu, jalan yang penuh cahaya ini. Tapi percaya tak percaya ini adalah kesesatan yang menyenangkan, sesat membawa nikmat lah kalo boleh di bilang, haha... Kalo tak percaya, cobalah jalan ini, pasti mau tersesat juga, lama-lama disini, sampe akhir hayat malah!!! 

Dan hal itu menjadi modal yang cukup untuk saya, sehingga walau seperti apapun kehidupan Pasca kampus yang saya alami sekarang ini, tak pernah ada sesal yang mencuat untuk dilihat, karena dunia kampus FKM itu telah menghantarkan saya ke depan pintu gerbang kemerdekaan saya. Yang kalo saya masuk FE seperti ingin saya waktu itu, mungkin tak beginilah jadinya, syukur yang tak terhingga kepada Allah ta’ala, yang telah menggariskannya dengan begitu indah dan ciamik, dan karena di FKM jualah segalanya bermula, pertemuan dengan insan muda belia perkasa yang kali ini akan menjadi fokus pembicaraan kita, si 3 lebah alias trio um.

Berikut saya sajikan reka adegan perjumpaan kami yang begitu dramatis, yang kalo di film-in jauuuhlaaah sama Laskar Pelangi, iya jauh karena, Laskar Pelangi di Belitong kami di Medan, 2 hari 3 malemlah kalo naik bus... #nahloh...

Baik saya akan jelaskan bagaimana alur perjumpaan saya dengan kakak lebah 1 dulu ya, jadi begini ceritanya, kala itu sepulang orientasi MABA, namanya PMB dulu, ha... Biasalah tu kan kalo MABA, biar banyak kawan, agak2 mepet-mepet sesama MABA untuk sekedar sapa, tanya nama, tanya nomor HP dan sebagainya dan sebagainya kan, kala itu saya udah punya temen yang sekaligus sahabat pertama di FKM, namanya Melly (kenal kan?), dan dari kejauhan entah mengapalah, mata saya menangkap sesosok gadis berbaju oranye dan bercelana petak-petak, celana petak-petak yang begitu eye catching (Winni masik inget ga?), pake tas coklat, nyebrang. Naah, dikarenakan di Medan mobilnya (red : arus lalu lintas) lebih ramai daripada di Kabanjahe, saya pun ngekorin gadis berbaju oranye itu untuk nyebrang (ngikutin pesan emak, kalo nyebrang hati-hati ya Naak...), hehe, dia jago nyebrang ternyata, trus pas naik angkot ternyata angkot yang kami tumpangi sama sodara-sodara (waaaah, saya terkejuut) haha... Ya sudah, dengan agak malu malu tapi mau, kalo ga salah saya nanyain deh nama si gadis berbaju oranye bercelana petak-petak itu, yang di kemudian hari ternyata Allah takdirkan jadi kaka lebah pertama saya, Winni Ramadhani Elistria Tumanggor, itulah awal perjumpaan dengan Wince sang pelopor kemerdekaan #eh salah, sang Nyonya L-Chocolatte. Dan kemudian kami mengalir begitu saja, menjadi begitu dekat, lekat, erat, seerat perangkoooh, hehe... pokoknya akrablah, sulit terjabarlah dengan kata-kata, pokoknya Kaka Winni ini telah banyak mengajarkan ilmu berharga kepada saya yang masih muda belia kala itu, misalnya : ilmu menyetir motor, dialah guru setir motor yang ngajarin saya ngebut #eh, ilmu berdagang, ilmu move-on, ilmu mencoba hal-hal baru, ilmu biostatistika, ilmu bela diri, ilmu nyubit supersakit #eh dan banyak ilmu lain yang tak bisa dijabarkan secara nyata dan tajam setajam silet haha... Seperti itulah, kakaaa lebah pertama saya yang luar biasa. Dan kami banyak menjalani suka duka hidup bersama di kampus, bikin usaha bareng, kena marah sama tim penilai SEC bareng, tak terhitung jumlah tugas kelompok yang dikerjain bareng, menggila bareng, dan akhirnya hijrah ke jalan penuh cahaya (culik bahasa Rahmi) ini pun bareng, intinya kalo sama kaka Winni ini, sering se-kufu lah sayanya... 

Itu secuil kisah tentang lebah 1, kalo di jelasin semua, butuh waktu yang panjaaaaaaang sekali...

Baik mari kita beranjak kepada si tengah kami, lebah ke-2, Rahmi Fitri Laoli, gadis ombo batu dari Pulau Nias. Saya tak mengingat secara jelas, bagaimana kami menjadi dekat seperti saat ini. Yang jelas di kelas kaka Rahmi ini pendiam sangat, membuat saya tak kenal (soalnya saya dulu ribut sangat, haha). Dia kalem, santai, cool, tak banyak bicara, tipikal-tipikal gadis Nias lah (haha sok tau) (tapi itu dulu lo, dulu, sekarang dah lain pasal). Dulu dia dekat dengan Sri juga, tapi bukan saya bukan saya, itu Sri yang kecil imut lucu dan jago masak, Sri Erlina. 

Yang saya ingat, kami dekat semenjak memutuskan memasuki peminatan yang sama, dan Allah takdirkan dia menggantikan saya mengemban amanah menjadi sekretaris departemen komunikasi dakwah dimana saya menjadi stafnya, nah disanalah kami banyak bertukar pandang, berdiskusi, bercanda, tertawa, menangis, bersamalah, bergosip #eh, lalu Allah takdirkan lagi dia menjadi sekretaris umum dimana saya menjadi ketua umumnya, kami acap berada dalam posisi harus saling mentsiqoh-ditsiqohi seperti itu, kaka Rahmi juga banyak mengajarkan ilmu kepada saya, ilmu gombal #eh, ilmu administratif (meski saya gagal terus), ilmu me-manajemen waktu (ini juga saya gagal terus), ilmu kasih sayang sesuai namanya Rahmi (penyayang), dia ni penyayang sangat, jadi saya banyak men-JIMOD (jiplakmodifikasi) darinya, misalnya tentang bagaimana dia memperlakukan mad’u-mad’unya. Rahmi terkenal sebagai kakak yang romantis, #eh, dia pernah dapat surat cinta romantis dari adik menteenya soalnya. 

Tak seperti yang tampak diluar, bahwa kami selalu semangat, kreatif dan kompak (pinjam jargon organisasi kawan) seperti yang sudah Rahmi bilang dalam tulisannya, kami pernah sering kali tak sependapat, lempar-lemparan es sering terjadi, kedinginan interaksi pun tak bisa dihindari, tapi begitulah karena ukhuwah bukanlah sesuatu yang harus diperjuangkan karena Ia hanyalah buah dari iman, acapkali setelah proses es-esan kami menyadari bahwa memang iman kami yang sedang merombeng, itu jua yang membuat membaik kembali, karena mereka selalu ada untuk mengingatkan dalam kesabaran dan kebenaran. Semoga proses ini berlanjut hingga akhir hayat hingga tapak kaki kami menjejak surga-Nya Allah yang indah tak terperi. 

Begitulah, menapak tilas perjalanan kami bersama selama beberapa tahun terakhir, saya si lebah ke-3, acap kali menjadi gelombang yang ke-3 dalam banyak hal, sebut saja, dalam usaha meraih gelar SKM kami, di awali oleh kakak lebah pertama, kemudian kakak lebah kedua, baru kemudian saya. Begitupun dengan kepemilikan SIM, Winni melaju keencang memiliki SIM terlebih dahulu di banding kami-kami adiknya yang karena itu seringkali nekat membawa sepeda motor tanpa si SIM C itu, hingga akhirnya di penghujung usia kampus berujung tilang dari pak POLISI yang garang. Lalu kemudian Rahmi yang tanpa dinyana tanpa di duga, selepas kembali dari tanah ombo batunya selepas bergelar SKM, dia nyengir kuda menunjukkan SIM C nyaa, haha, dan jadilah semenjak itu dia aktif membonceng saya kemana-mana. Baru kemudian saya memiliki SIM C setelah tak menjejak dunia kampus lagi. 

Sampai-sampai sering nalar nakal saya berfikir yang tidak tidak, kalaupun akhirnya saya menjadi si gelombang yang ke-3 dalam memperoleh SIM dan SKM dalam akronim yang diselewengkan, surat izin menikah dan surat keterangan menikah, dimana Winni memperoleh SIM dan SKM di urutan pertama dan Rahmi berikutnya tak apa, jadi saya bisa hadir di keduanya saat masih dalam keadaan Single kemudian mereka hadir di tempat saya dalam keadaan Double, jadi kan di potonya nanti Cantik, hahahah... (yang ini abaikan saja yaaaa).

Begitulah, cerita kami, dalam versi si gelombang ke-3.... nantikan versi kakak lebah pertama yang tentu saja akan fenomenal dan membadai. :D 


By : Sri Lestari Zhaw

Read More