Menunggu Jemputan




Gadis itu. Seperti biasa. Sejak sepuluh tahun lalu. Selalu duduk entah menunggu siapa di gerbang sekolahku. Ahh, maksudku, gerbang sekolahku dan dia.

Gadis itu. Sejak sepuluh tahun lalu, tepatnya saat aku masih duduk di kelas dua sekolah dasar, ia siswa baru kala itu. Sejak pertama kali ia masuk dari gerbang sekolah, sejak itulah ia selalu duduk di sana, sepulang sekolah. Dan sejak itu pula aku memandangnya dari kejauhan.

Gadis itu. Aku tak tahu siapa namanya. Padahal sejak SD kami bersekolah di sekolah yang sama. Dan tanpa kusangka hingga aku SMA, kami selalu bersekolah di sekolah yang sama. Suatu kebetulan? Mungkin.

Gadis itu. ahh, mengapa akhir-akhir ini gadis itu mengganggu pikiranku. Padahal sejak sepuluh tahun lalu, dia hanyalah gadis tanpa nama yang kukenal di gerbang sekolah.

Aku tak pernah berusaha bertanya atau mencari tahu siapa dia, siapa namanya dan siapa yang ia tunggu setiap kali pulang sekolah. Aku tak pernah tahu.

Yang sepintas ku tahu adalah, sejak sepuluh tahun lalu, setiap kali ia duduk menunggu di gerbang sekolah, ia selalu menggenggam sebuah boneka lucu berwarna pink. Boneka itulah yang selalu menemaninya duduk menunggu.

Namun, sejak SMP, aku tak pernah lagi melihat boneka itu di tangannya. Sekarang sudah berganti dengan buku-buku pelajaran. Buku-buku itu yang mengisi waktunya kala duduk menunggu. Menunggu sesuatu atau seseorang? Aku tak pernah tahu.

Beberapa teman lelaki yang membawa sepeda motor menawarkan diri untuk mengantarkannya pulang. Tapi ia selalu menolak dengan halus. Dan kembali asyik membaca bukunya. Aku pun tak pernah tahu apa alasannya menolak.

Gadis itu. Selalu duduk menunggu. Bahkan hingga kami duduk di bangku SMA. Gadis itu, sungguh setia menunggu. Pernah kulihat dia sedang asyik membaca sebuah buku kecil.. ah tidak. Itu bukan buku, itu al-Qur'an ukuran saku. Ia sedang khusyuk membacanya.

Dan masih saja ia menolak niat teman-teman lelaki yang kali ini membawa mobil mewah mereka untuk mengantarkan si gadis tanpa nama itu pulang.

Ah, aku sudah gila. Untuk apa aku memperhatikan gadis itu hingga sepuluh tahun lamanya? Bahkan tanpa tahu siapa namanya.

Tahun ini, aku melanjutkan pendidikanku di luar kota. Bagaimana dengan gadis tanpa nama itu ya? Apa ia akan selalu menunggu? Apa dia akan satu fakultas denganku? atau setidaknya satu universitas. Aku tersenyum. Dan kemudian mengutuk diriku. Sebuah harapan yang kosong!
Sejak itu aku tak berani berharap, pada dia si gadis tanpa nama yang selalu setia menunggu di gerbang sekolahku.

Kini, aku sibuk dengan kuliahku. Dan hampir tak ada waktu untuk sekedar menoleh ke gerbang kampus. Selain jadwal datang dan perginya mahasiswa tidak seperti jadwal masuk sekolahnya anak sekolahan, aku merasa tak mungkin gadis tanpa nama itu ada di kota ini. Apalagi satu universitas denganku. Bilapun mungkin, aku akan menyesali letak gerbang kampus yang jauh dari fakultasku. Mungkin saja, saat ini dia sedang asyik membaca al-Qur'an kecilnya di gerbang kampus.
Ahhh, tak mungkinlah! Tak mungkin kebetulan-kebetulan itu terulang berkali-kali.

Hingga suatu hari, ketika aku harus bertemu seorang teman di sebuah fakultas. Ia masih di kelas. Aku duduk menunggunya di tangga dekat mushola fakultas itu. Dan... sekelebat sosok gadis itu muncul menyusuri lorong kelas, samar-samar kulihat ia memakai baju biru dengan jilbabnya yang menjuntai panjang dan kemudian menghilang. Apa itu dia? Atau mungkin aku salah lihat?

Ahh, aku ingin sekali bertanya pada temanku, apa dia melihat seorang gadis memakai baju biru dengan jilbab lebar hari ini? Siapa dia? Apakah dia gadis tanpa nama itu?
Ahh, tidak mungkin temanku mengenal gadis itu. Ada begitu banyak mahasiswa di fakultas ini. Angkatan baru saja hampir ribuan orang. Bagaimana bisa temanku itu mengenalnya? Betapa bodohnya, aku!
Pun, bila temanku mengenalnya, aku akan berbuat apa? Apa aku harus mengatakan bahwa aku adalah seorang pria yang mengamati dia sejak sepuluh tahun lalu? Ah, itu sama saja mempermalukan diriku sendiri.

Empat belas tahun sudah. Dan kini aku tersenyum. Tak perlu bersusah payah untuk tahu siapa gadis itu. Namanya telah tertulis dalam sebuah surat undangan berwarna biru laut yang kuterima siang ini. Dengan tinta emas tertulis namanya "Walimatul 'Ursy Rani Akbar dan Arief Rasyid." Namanya bersanding dengan nama seorang pria tampan. Namaku. :)

Aku tak perlu lagi bertanya-tanya dalam hatiku tentang siapa dia, siapa namanya dan apa yang dia tunggu selama sepuluh tahun yang lalu. Aku tinggal bertanya langsung padanya.

Dan kau tahu apa jawabannya atas tanyaku selama ini?

Sepuluh tahun lalu, yang membuatnya setia menunggu di gerbang sekolah adalah ayahnya. Menunggu ayahnya menjemputnya.

Mengapa ia menolak diantar pulang oleh teman lelaki?

Karena ia tak mau duduk diboncengan seorang lelakipun selain ayah dan suaminya kelak :)

Dan kau tahu, apa yang dilakukannya pada sisa waktu empat tahun itu?

Dia sedang menunggu calon suaminya menjemputnya. Dan itu aku! :)

Oh, sungguh dia gadis yang setia menunggu sembari menjaga diri dan menata hati :)



Cahaya Surga, 26.06.2014



No comments on "Menunggu Jemputan"

Leave a Reply

Terimakasih telah membaca, semoga bermanfaat dan menginspirasi. Silahkan tinggalkan jejak anda di sini :D