Menulis, dari Makna hingga Daya (Repost)





oleh Salim A. Fillah dalam Rajutan Makna. 04/11/2012

kata-kata kita menjelma boneka lilin

saat kita mati untuk memperjuangkannya

kala itulah ruh kan merambahnya

dan kalimat-kalimat itupun hidup selamanya

-Sayyid Quthb-

Menulis adalah mengikat jejak pemahaman. Akal kita sebagai karunia Allah ‘Azza wa Jalla, begitu agung dayanya menampung sedemikian banyak data. Tetapi kita kadang kesulitan memanggil apa yang telah tersimpan lama. Ilmu masa lalu itu berkeliaran dan bersembunyi di jalur rumit otak. Maka menulis adalah menyusun kata kunci untuk membuka khazanah akal; sekata menunjukkan sealinea, satu kalimat untuk satu bab, sebuah paragraf mewakili berrangkai kitab. Demikianlah kita fahami kalimat indah Imam Asy-Syafi’i; ilmu adalah binatang buruan, dan pena yang menuliskan adalah tali pengikatnya.


Menulis juga jalan merekam jejak pemahaman. Kita lalui usia dengan memohon ditambah ilmu dan dikaruniai pengertian; maka adakah kemajuan?Itu boleh kita tahu jika kita rekam sang ilmu dalam lembaran; kita bisa melihat perkembangannya hari demi hari, bulan demi bulan. Jika tulisan kita tiga bulan lalu telah bisa kita tertawai; maka terbaca adanya kemajuan. Jika anggitan setahun lewat masih terkagumi juga; itu menyedihkan.

Lebih lanjut; menulis adalah mengujikan pemahaman kepada khalayak; yang dari berbagai sisi bisa memberi penyaksamaan dan penilaian. Kita memang membaca buku, menyimak kajian, hadir dalam seminar dan sarasehan. Tetapi kebenaran pemahaman kita belum tentu terjaminkan. Maka menulislah; agar jutaan pembaca menjadi guru yang meluruskan kebengkokan, mengingatkan keterluputan, dan membetulkan kekeliruan.

Penulis hakikatnya menyapa dengan ilmu; maka ia berbalas tambahan pengertian; makin bening, makin luas, kian dalam, dan kian tajam.Agungnya lagi; sang penulis merentangkan ilmunya melampaui batas-batas waktu dan ruang. Ia tak dipupus masa dan usia, ia tak terhalang ruang dan jarak. Adagium Latin itu tak terlalu salah; Verba Volant, Scripta Manent. Yang terucap kan lenyap tak berjejak, yang tertulis kan adi mengabadi. Tetapi bagi kita, makna keabadian karya bukan hanya soal masyhurnya nama; ia tentang pewarisan nilai. Apakah kemaslahatan yang kita lungsurkan, atau justru kerusakan.

Andaikan benar bahwa II Principe yang dipersembahkan Niccolo Machiavelli pada Cesare de Borgia itu jadi kawan tidur para tiran seperti terisyu tentang Napoleon, Hitler, dan Stalin; akankah dia bertanggung jawab atas berbagai kezaliman yang terilham bukunya? Sebab bukan hanya pahala yang bersifat ‘jariyah’; melainkan ada juga dosa yang terus mengalir. Menjadi penulis adalah pertaruhan. Mungkin tak separah II Principe; tapi tiap kata yang mengalir dari jemari ini juga berpeluang menjadi keburukan berrantai-rantai.

Dan bahagialah bakda pengingat; huruf bisa menjelma dzarrah kebajikan; percikan ilhamnya tak putus mencahaya sampai kiamat tiba. Lalu terkejutlah para penulis kebenaran, kelak ketika catatan amal diserahkan, “Ya Rabbi, bagaimana bisa pahalaku sebanyak ini?” Moga kelak dijawab-Nya, “Ya, amalmu sedikit, dosamu berbukit; tapi inilah pahala tak putus dari ilham kebajikan yang kautebarkan.” Tulisan shahih dan mushlih; jadi jaring yang melintas segala batas; menjerat pahala orang terilham, tanpa mengurangi ganjaran si bersangkutan.

Menulis juga bagian dari tugas iman; sebab makhluk pertama ialah pena, ilmu pertama ialah bahasa, dan ayat pertama berbunyi “Baca!” Tersebut dalam hadis riwayat Imam Ahmad dan ditegaskan Ibnu Taimiyah dalamFatawa, “Makhluk pertama yang dicipta-Nya ialah pena, lalu Dia berfirman, “Tulislah!” Tanya Pena, “Apa yang kutulis, wahai Rabbi?” Maka Allah titahkan, “Tulislah segala ketentuan yang Kutakdirkan bagi semua makhluk-Ku sejak awal zaman hingga akhir waktu.”

Demikianpun ilmu yang diajarkan pada Adam hingga membuat dia unggul atas malaikat yang diperintahkan bersujud padanya adalah bahasa; adalah kosa kata; adalah nama-nama (QS Al-Baqarah [2} ayat 31).

Dan “Baca!”; adalah wahyu pertama. Bangsa Arab dahulu mengukur kecerdasan dari kuatnya hafalan hingga memandang rendah tulis-baca. Sebab, menulis—kata mereka—hanyalah alat bantu bagi yang hafalannya di bawah rata-rata. Namun begitu ayat itu nuzul di Bukit Cahaya, hanya dalam 2 dasawarsa, para penggembala kambing dan penunggang unta itu meloncat ke ufuk, menjadi guru bagi semesta.

Muhammad, Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, hadir bukan dengan mukjizat yang membelalakkan. Dia datang dengan kata-kata yang menukik-menghunjam, disebut ‘Al Quran’, yang bermakna 'bacaan'. Maka Islam menjelma diri menjadi peradaban ilmiah, dengan pena sebagai pilarnya; hingga berbagai wawasan tertebar mengantar kemaslahatan ke segenap penjuru bumi.

Semoga Allah berkahi tiap kata yang mengalir dari ujung jemari kita. Sungguh, sesusun kalimat dapat menggugah jiwa manusia dan mengubah arah laju dunia.Maka bagaimana sebuah tulisan bisa mengilhami; tak tersia, tak jadi tragika, dan tak menjatuhkan penulisnya dalam gelimang kemalangan? Saya mencermati setidaknya ada tiga kekuatan yang harus dimiliki seorang penulis menggugah; Daya Ketuk, Daya Isi, dan Daya Memahamkan.

Daya Ketuk
Daya ketuk ini yang paling berat dibahas. Yang mericau ini pun masih jauh darinya dan tertatih belajar merengkuhnya. Ia masalah hati; terkait niat dan keikhlasan. Tapi pertama-tama, marilah kita jawab ketiga pertanyaan ini: 1) Mengapa saya harus menulis? 2) Mengapa hal ini harus ditulis? 3) Mengapa harus saya yang menuliskannya?


Seberapa kuat makna jawaban kita atas ke-3 soalan ini, menentukan seberapa besar daya tahan kita melewati berrupa-rupa tantangan menulis.Alasan kuat tentang diri, tema, dan akibat dunia-akhirat yang akan kita tanggung jika ia tak ditulis; akan menggairahkan, menguatkan, dan menekunkan. Keterlibatan hati dan jiwa dengan niat menyala itulah yang mengantarkan tulisan ke hati pembaca; mengetuk, menyentuh, menggerakkan.

Tetapi, tak cukup hanya hati bergairah dan semangat menyala saja jika yang kita kehendaki adalah keinsyafan suci di nurani pembaca. Menulis memerlukan kata yang agung dan berat itu; IKHLAS. Kemurnian. Harap dan takut yang hanya pada-Nya. Cinta terhadap kebenaran di atas segala-galanya.

Allah menggambarkan keikhlasan sejati bagaikan susu; terancam kotoran dan darah, tapi terupayakan. Ia murni, bergizi, mengandung tenaga inti. Ia mudah diasup, nyaman ditelan, lancar dicerna oleh peminum-peminumnya, menjadi daya untuk bertaat dan bertakwa (Q.s. an-Nahl [16] ayat 66). Maka menjadi penulis yang ikhlas sungguh payah dan tak mudah, ada goda kotoran dan darah, ada rayuan kekayaan dan kemasyhuran, ada jebakan riya’ dan sum’ah.

Jika ia berhasil dilampaui; jadilah tulisan, ucapan dan perbuatan sang penulis bergizi, memberi arti, mudah dicerna jadi amal suci. Sebaliknya; penulis tak ikhlas itu; tulisannya bagai susu dicampur kotoran dan darah, racun dan limbah; lalu disajikan pada pembaca. Ya Rabbi; ampuni bengkoknya niat dalam hati, ampuni bocornya syahwat itu dan ini, di tiap kali kami gerakkan jemari menulis dan berbagi.

Sebab susu tak murni, tulisan tak ikhlas, memungkinkan 2 hal: a) pembaca muak, mual, dan muntah bahkan saat baru mengamati awalnya. Atau lebih parah: b) pembaca begitu rakus melahap tulisan kita; tapi yang tumbuh di tubuhnya justru penyakit-penyakit berbahaya. Menulis berkeikhlasan, menabur benih kemurnian; agar Allah tumbuhkan di hati pembaca pohon ketakwaan. Itulah daya ketuk sejati.

Daya sentuh, daya ketuk, daya sapa di hati pembaca; bukan didapat dari wudhu dan shalat yang dilakukan semata karena niat menoreh kata. Ia ada ketika kegiatan menghubungkan diri dengan Dzat Mahaperkasa, semuanya, bukan rekayasa, tapi telah menyatu dengan jiwa. Lalu menulis itu sekadar satu dari berbagai pancaran cahaya yang kemilau dari jiwanya; menggenapi semua keshalihan yang mengemuka.

Daya Isi

Setelah daya ketuk, penulis sejati harus ber-Daya Isi. Mengetuk tanpa mengisi membuat pembaca ternganga, tapi lalu bingung harus berbuat apa. Daya Ketuk memang membuat pembaca terinsyaf dan tergugah. Tapi jika isi yang kemudian dilahap ternyata cacat, timpang, dan rusak; jadilah masalah baru.


Daya Isi adalah soal ilmu. Mahfuzhat Arab itu sungguh benar; “Fakidusy syai’, laa yu’thi: yang tak punya, takkan dapat memberi”. Menjadi penulis adalah menempuh jalan ilmu dan berbagi; membaca ayat-ayat tertulis; menjala hikmah-hikmah tertebar. Semuanya sebagai mujahadah tanpa henti.

Dia menyimak apa yang difirmankan Tuhannya, mencermati apa yang memancar dari hidup Rasul-Nya; dan membawakan makna ke alam tinggalnya. Dia pahami ilmu tanpa mendikotomi; tapi tetap tahu di mana menempatkan yang mutlak terhadap yang nisbi; terus mencoba mencerahkan akal dan hati.

Penulis sejati memiliki rujukan yang kuat, tetapi bukan tukang kutip. Segala yang disajikan telah melalui proses penghayatan dan internalisasi. Penulis sejati kokoh berdalil bukan hanya atas yang tampak pada teks; tapi disertai kepahaman latar belakang dan kedalaman tafsir. Dengan internalisasi itu; semua data dan telaah yang disajikan jadi matang dan lezat dikunyah. Pembacanya mengasup ramuan bergizi dengan amat berselera hati.

Sebab konon ‘tak ada yang baru di bawah matahari’; tugas penulis mungkin memang hanya meramu hal-hal lama agar segar kembali. Atau mengungkap hal-hal yang sudah ada, tapi belum luas dikenali. Diperlukan ketekunan untuk melihat satu masalah dari banyak sisi. Atau mengingatkan kembali hal-hal yang sesungguhnya telah luas difahami; agar jiwa-jiwa yang baik tergerak kuat untuk bertindak. Maka penulis sejati lihai menghubungkan titik temu aneka ilmu dengan pemaknaan segar dan baru, dengan tetap berpegang pada kaidah shahih dan tertentu.

Dia hubungkan makna yang kaya; fikih dan tarikh; dalil dan kisah; teks dan konteks; fakta dan sastra; penelitian ilmiah dan kecenderungan insaniyah. Dia menularkan jalan ilmu untuk tak henti menggal. Tulisannya tak membuat orang mengangguk berdiam diri; tapi kian haus dan terus mencari. Dia membawakan pemaknaan penuh warna; beda bagi masing-masing pembaca; beda pula bagi pembaca yang sama di saat lainnya. Tulisannya membaru dan mengilhami selalu. Maka karyanya melahirkan karya; syarah dan penjelasan, catatan tepi dan catatan kaki, juga sisi lain pembahasan, dan bahkan bantahan.

Daya Memahamkan

Seorang penulis menggugah memulai daya memahamkan-nya dengan satu pengakuan jujur; dia bukanlah yang terpandai di antara manusia. Sang penulis sejati juga memahami; banyak di antara pembacanya yang jauh lebih berilmu dan berwawasan dibandingkan dirinya sendiri. Maka dalam hati, dia mencegah munculnya rasa lebih dibanding pembaca: “Aku tahu. Kamu tidak tahu. Maka bacalah agar kuberitahu.”




Setiap tulisan dan buku yang disusun dengan sikap jiwa penulis “Aku tahu! Kamu tak tahu!” pasti berat dan membuat penat. Kadang senioritas atau lebih tingginya jenjang pendidikan tak sengaja melahirkan sikap jiwa itu. Sang penulis merasa lebih tahu. Sungguh, sikap jiwa seorang penulis harus diubah; dari “Aku tahu! Kamu tak tahu!” menjadi suatu rasa yang lebih adil, haus ilmu, dan rendah hati.

Penulis sejati mengukirkan semboyan, “Hanya sedikit ini yang kutahu, kutulis ia untukmu, maka berbagilah denganku apa yang kautahu.”Penulis sejati sama sekali tak berniat mengajari. Dia cuma berbagi; menunjukkan kebodohannya pada pembaca agar mereka mengoreksi. Penulis sejati berhasrat untuk diluruskan kebengkokannya, ditunjukkan kekeliruannya, diluaskan pemahamannya, dilengkapi kekurangannya. Penulis sejati menjadikan dirinya seakan murid yang mengajukan hasil karangan pada gurunya. Maka berribu pembaca menjadi pengajar baginya, berjuta ilmu akan menyapanya.

Inilah yang menjadikan tulisan akrab dan lezat disantap; pertama-tama sebab penulisnya adil menilai pembaca, haus ilmu, dan rendah hati.

Pada sikap sebaliknya, kita akan menemukan tulisan yang beribu kali membuat berkerut dahi, tapi pembacanya tak kunjung memahami. Lebih parahnya; keinginan untuk tampil lebih pandai dan tampak berilmu di mata pembaca sering membuat akal macet dan jemari terhenti. Jika lolos tertulis; ianya menjadi kegenitan intelektual; inginnya dianggap cerdas dengan banyak istilah yang justru membuat mual.

Kesantunan Allah menjadi pelajaran bagi kita. Rasul-Nya menegaskan keindahan surga itu belum pernah ada mata yang melihatnya, telinga yang mendengarnya, dan angan yang membayangkannya. Tetapi dalam firman-Nya, Dia menjelaskan dengan paparan yang mudah dihayati. Dia gambarkan surga dalam paparan yang mudah dicerna akal manusia; taman hijau, sungai mengalir, naungan rindang, bebuahan dekat, duduk bertelekan di atas dipan, dipakaikan sutra halus dan tebal, pelayan hilir mudik siap sedia, bidadari cantik bermata jeli.

Inilah Allah yang Mahatahu, Dia tak bersombong dengan ilmu. Bahkan Dia kenalkan diri-Nya bukan sebagai “Ilah” di awal-awal, melainkan sebagai “Rabb” yang lebih dikenal.

Penulis sejati menghayati pesan Nabi; bicaralah pada kaum sesuai kadar pemahamannya, bicaralah dengan bahasa yang dimengerti oleh mereka.Penulis sejati memahami; dalam keterbatasan ilmu yang dimiliki, tugasnya menyederhanakan yang pelik, bukan merumitkan yang bersahaja. Itu pun tidak dalam rangka mengajari; tapi berbagi. Dia haus tuk menjala umpan balik dari pembaca; kritik, koreksi, dan tambahan data.

Penulis sejati juga tahu; yang paling berhak mengamalkan isi anggitannya adalah dirinya sendiri. Daya memahamkan hakikatnya berhulu di sini. Sebab seringkali kegagalan penulis memahamkan pembaca disebabkan dia pun tak memahami apa yang ditulisnya itu dalam amal nyata. Begitulah daya memahamkan; dimulai dengan sikap jiwa yang adil, haus ilmu, dan rendah hati terhadap pembaca kita, lalu dikuatkan dengan tekad bulat untuk menjadi orang pertama yang mengamalkan tulisan, dan berbagi pada pembaca dengan hangat, akrab, serta penuh cinta.

Kali ini, tercukup sekian bincang kita tentang menulis. Maafkan tak melangkah ke hal-hal yang bersifat teknis, sebab banyak yang lebih ahli tentangnya. Semoga kita lalu tahu; menulis bukanlah profesi tunggal dan mandiri. Ia lekat pada kesejatian hidup seorang mukmin untuk menebar cahaya pada dunia. Maka menulis hanya salah satu konsekuensi sekaligus sarana bagi si mukmin untuk menguatkan iman, amal shalih, dan saling menasehati. Jika ada amal lain yang lebih utama dan lebih kuat dampaknya dalam ketiga perkara itu; maka kita tak boleh ragu; tinggalkan menulis untuk menujunya.

http://salimafillah.com/
Read More

Surat Cinta dari sang Mutarabbi




Selalu ada saja cara Allah menghadiahkan hidayah pada hambaNya.. 
Suatu ketika, aku menghadiri suatu kegiatan yang terlahir dari ide kreatif adik-adik tersayangku di Lembaga MAI alias Mentoring Agama Islam salah satu lembaga di Unit Kegiatan Mahasiswa Islam di kampus FKM yang diberi nama TORAJA. Dari namanya terasa berada di pulau Sulawesi yaa? Hehe. Tapi tenang dulu.. ini bukan acara adat atau sejenisnya. TORAJA singkatan dari menTORing Akbar lanJutAn. Acara luar biasa unik dan memang dikemas dengan sangat baik. Mulai dari materi, pemateri, sampai lomba yang diadakan juga cukup menguras airmata.

Lombanya sederhana memang. Lomba menulis surat cinta untuk kakak mentor. Tapi jangan tanya hasilnya... Masya Allah, luarbiasa...!! saya secara pribadi memberikan standing uplause sekaligus bersyukur kepada Allah karena telah menghadirkan adik-adikku stambuk 2011 di FKM ini. Kehadiran mereka sebagai tongkat estafet dakwah di FKM adalah sesuatu yang membahagiakan hatiku. Karunia Allah yang tak henti-hentinya aku syukuri.

Aku dan kedua lebah lainnya (winni_sri.red) diundang sebagai juri dalam acara ini. awalnya aku menolak, karena aku merasa tidak punya kemampuan sebagai juri. Tapi, setelah berdiskusi panjang lebar bahkan sempat pula di foto sama panitia *hehe, panitianya usil. Akhirnya kami memberi penilaian berupa skor. Jadi, masing-masing surat dibaca satu per satu, dan dinilai dari segi isi, tulisan, penampilan dan lain-lain yang berkenaan dengan itu.
Satu per satu kami membaca surat itu.. ada yang lucu, ada yang mengharukan, bahkan membuatku meneteskan airmata. *tissu mana tissuuu...

Pada sebuah surat aku terhenti. Kupandangi 1 surat yang terdiri dari 2 lembar kertas HVS itu. Awalnya aku tak tahu  siapa yang menulis surat itu, karena memang tidak ada nama penulisnya. Suratnya membuatku terenyuh. Subhanallah.. Allah punya banyak cara memberikan hidayah pada hamba yang dicintaiNya...
Surat ini benar-benar surat cinta dari seorang pecinta kebaikan, sang perindu kebaikan...
semoga Allah selalu mencintainya.

Medan, 6 April 2013
Assalamu'alaikum wr. wb
Kepada pementorku tersayang...
Semoga engkau selalu berada dalam lindunganNya. Izinkan aku, adik mentormu mengungkapkan sedikit perasaanku lewat kata-kata yang mungkin bagimu tidak berarti apa-apa, namun bagiku ini sungguh berharga.

Aku mengenalmu secara tak sengaja dan tak pernah kusadari sebelumnya. Tapi kehendak Allah ternyata tak bisa di duga dan ternyata lebih indah karena Dia memang tahu yang terbaik untuk makhluk-Nya. Kau dan aku, kita dipertemukan dalam sebuah lingkaran ini. Lingkaran yang selalu kunanti di setiap minggunya, lingkaran yang selalu kutunggu kehadirannya. Lingkaran indah yang bernama "mentoring"

Bersamamu, kau kenalkan aku dengan sesama teman yang ingin bergabung dalam lingkaran ini, yang sebelumnya tak pernah ku kenal dan sekarang bahkan lebih dari sekedar kenal. Terimakasih telah mendekatkan kami...

Bersamamu, kau kenalkan aku kembali tentang Allah dan rasul yang sebelumnya sempat terlupa, setelah aku terlalu sibuk dengan urusan duniaku sendiri. Terimakasih telah mengingatkanku...

Bersamamu, kau ajarkan aku kembali tentang islam sehingga membuatku semakin penasaran dan ingin terus belajar dan belajar tentang islam lagi sehingga aku bisa terus memperbaiki ibadahku...

Bersamamu, kau kuatkan aku di saat kau memberikan waktu untuk bercerita semua masalahku dan kau berikan solusi yang menyejukkan hatiku...

Duhai pementorku yang selalu kurindukan,
maafkan jika aku tak sengaja mengecewakanmu
mengatakan diriku sibuk ketika kau ajak untuk berkumpul
meminta izin pulang cepat ketika mentoring kita sedang berlangsung
atau sama sekali tidak memberi kabar dan tidak membalas smsmu atau tidak mengangkat telponmu...

Tapi inilah aku,
Adik mentormu yang nakal tapi sebenarnya selalu ingin diperhatikan
adik mentormu yang masih malas beribadah tapi sebenarnya ingin sesoleha dirimu, ingin hafalannya bisa banyak sepertimu...
dan adik mentormu yang berharap bisa sepertimu dan menggantikanmu.
Jadi, tolong tetaplah bersabar menantiku hingga akhirnya kau berkata
"Selamat jadi pementor ya dek.."

Oh pementorku, semoga Allah yang membalas semua ketulusanmu...

Wassalam
adik mentormu :)

Berderai airmataku membacanya.
Betapa berharganya duduk melingkar itu.
bukan sekedar duduk dan berbincang, tapi ada energi positif yang menyentuh dan mengetuk setiap dinding jiwa yang hadir. mengelus dengan lembut, perlahan, menghapus bintik-bintik noda yang berkarat di hati, menggantinya dengan cahaya hidayah. Ya, cahaya yang perlahan menghantarkan pemilik jiwa pada hakikat hidayah yang sebenarnya.

surat cinta ini benar-benar menyadarkan bahwa menjadi pementor itu butuh kesabaran ekstra, sangat ekstra. Bilalah sang adik mentee tak pernah hadir, bilalah sang adik mentee tak pernah membalas sms, bahkan tak pernah mengangkat telpon tak benarlah bila langsung berspekulasi bahwa mereka tak butuh mentoring ini, tak suka mentoring ini... 
tapi mungkin mereka sedang berperang dengan hatinya... berikan mereka waktu, berikan mereka perhatianmu. Berikan mereka sedikit waktu walau hanya sekedar duduk-duduk di taman USU sambil memakan ice cream yang kau beli. Berikanlah mereka waktu untuk curhat tentang apa yang ada dalam benaknya mengenai mentoring ini. Berikanlah mereka waktu untuk berkeliling kota Medan ini dan berfoto bersama mereka agar mereka tak merasa mentoring ini adalah sebuah pengekangan terhadap jiwa muda mereka. Itulah sebenarnya yang mereka butuhkan. Karena hidayah datang bukan karena dipaksa. Tapi karena kelembutan hati menerimanya.

Sekarang, penulis surat cinta ini telah menjadi seorang pementor. dan bolehkan aku sekarang berkata, 
"Selamat jadi pementor, adinda...:* Terimakasih atas surat cintamu yang indah ini. Semoga ia selalu menjadi penyemangat untukku. Dan semoga kita selalu istiqomah di Jalan ini."

Salam mahabbah dariku untukmu, adinda Ratna Juwita Sari..

Read More

Melerai rindu di kampung halaman ayah




Aku yang sedang di ufuk rindu, mencoba mencari hadirmu di sini.. di tanah kelahiranmu, ayah.

Di siang hari yang terik diiringi lagu yang diputar oleh tetangga depan rumahku, lagu yang seolah-olah menjadi backsound tulisanku kali ini...

"takkan pernah ada yang lain di sisi, segenap jiwa hanya untukmu, dan takkan mungkin ada yang lain di sisi, kuingin kau disini, tepiskan sepiku bersamamu... hingga akhir waktu.. "

untuk kali ini lagu yang diputarnya sedikit bersahabat di telinga tidak seperti kemarin-kemarin, mengganggu ketenangan batin siapa saja yang mendengarnya.. :D

Beberapa hari yang lalu, aku melakukan perjalanan yang tak terencana sebelumnya. Mungkin inilah rahasia Allah padaku yang sedang di ufuk rindu. Untuk beberapa hari aku menginap di kampung halaman ayah. Sebuah desa yang sangat tentram jauh dari hiruk pikuk kota yang memusingkan, dan juga benar-benar jauh dari yang namanya dunia sms-an, dunia facebookan *haha karena di sini sinyal benar-benar lenyap.

3 hari hari di desa ayah yang terletak cukup jauh dari kota tingggalku, sekitar 14 km, kira-kira 2 jam perjalanan. Dulu, waktu jalannya masih rusak, perjalanan memakan waktu lebih banyak lagi, karena di setiap jembatan yang dilewati harus turun, di setiap jalan berlubang harus pelan-pelan, dan pernah hampir terjatuh *hehe. Kalau sekarang, alhamdulillah sudah lebih baik, ya bisa kukatakan lebih baik dibandingkan desa tempat aku PBL dulu.

Terlepas dari itu semua, ada kebahagiaan dalam hatiku karena punya kesempatan untuk tinggal beberapa hari di sini. Ketenangan desa ini membuatku benar-benar merenung, benar-benar merenung. Sudah sejauh mana aku berjuang untuk hidupku seperti perjuangan ayah semasa hidupnya.
Kubandingkan kehidupan yang kujalani selama ini dengan kehidupan di desa ini. Ayahku terlahir di desa yang minim fasilitas, di sini yang ada cuma sekolah SD, anak-anak yang duduk di bangku sekolah menengah harus menempuh perjalanan jauh dengan sepeda ke kecamatan. Di sini, gak ada rumah sakit, yang ada puskesmas pembantu saja. Gak ada minimarket, yang ada hanya warung kecil yang harga dagangannya lebih mahal dibandingkan di kota. Dan tentu saja di sini terisolir dari dunia maya.. hehe. Walau begitu, ayahku tetap menjadi orang sukses walau terlahir dengan kondisi kampung halaman seperti ini. Lalu bagaimana denganku yang memiliki banyak fasilitas? Aku belum benar-benar berjuang.

Selama 3 hari, aku tinggal di rumah saudara laki-laki ayahku, aku memanggilnya pak tanga, panggilan untuk saudara laki-laki ayah. Pak tanga memiliki banyak kemiripan dengan ayah. Postur tubuh, suara dan gestur tubuhnya. Suatu pagi aku terkejut mendengar suaranya, persis sama! dan aku mulai merindu di pagi itu. Merindu ayah yang pergi tanpa kata. Yang kuingat beberapa minggu sebelum ayah pergi, ia selalu minta didoakan. Dan akan selalu ada doa untuknya.

Semua sudah takdir dari Allah, kepergian ayah yang sangat mendadak di siang yang mendung itu tak ada yang pernah menyangka. Kecelakaan itu hanya sebab. Allah sudah menentukan semuanya.
Kala itu, aku masih kuliah semester 5, sebentar lagi menamatkan kuliahku. Aku sudah membayangkan semua persiapan menjelang wisuda nanti, ayah dan ibu akan hadir di acara wisudaku. Namun, rencana Allah jauh lebih indah.

Ketika itu, hanya aku satu-satunya orang yang tak diberitahu kejadian yang sebenarnya. Aku hanya mendadak disuruh pulang besok pagi, karena ayah sakit keras. Setauku ayah tak punya riwayat penyakit yang parah. Aku tau, mereka menyembunyikan hal itu dariku, entah dengan alasan apa. Sejak kabar itu, dari sore hingga malam banyak saudara-saudara yang menelepon. Mereka bertanya ini itu, aku tak tahu mau jawab apa? aku pun tak tahu apa ayah hanya sakit atau...?? Hanya ibu saja yang tak menelpon. Yah, mungkin saat itu dia sedang menahan rasa perih di hatinya, membuatnya tak sanggup untuk berkata apapun padaku. Ayah pergi tiba-tiba, setelah ia iringi kepergian ayah menuju sekolah di depan pintu rumah siang itu.

Semua yang terjadi menjadi semakin jelas setibanya aku di nias, saudara yang datang menjemput menceritakan kronologis kejadian itu, bahkan kami melintasi tempat kejadian. Tabrakan maut di simpang meriam. Ada sedih yang mendalam, ada rasa perih yang menusuk-nusuk. suatu kenyataan pahit yang harus kuterima. Ayahku sudah pergi. Mengahadap Allah. Hal yang selalu dirindukan oleh ayah.

Setibanya di rumah, aku tak mau menangis meraung-raung, karena Rasulullah tak suka hal itu. Seperih apapun hati ini, aku hanya menangis ikhlas seraya melantunkan doa untuk Ayah. Semoga Allah tempatkan di tempat terindah milikNya. Ayah meninggal dengan husnul khatimah. Ia pergi meninggalkan senyum terindah miliknya. Wajahnya putih bersih. Tak ada goresan sedikitpun di tubuhnya akibat kecelakaan itu. Seluruh tubuhnya utuh, bahkan kacamatanya pun tak ada retakan. Yang rusak parah hanya sepeda motor ayah.

Ahh, berada di kampung halaman ayah, benar-benar membuatku merinduinya. Kurasakan hadirnya di sini, hadirnya yang tak pernah bisa tergantikan, hingga akhir waktu. Ayah, engkau akan selalu ada di hatiku.

Akan selalu ada doa untuk Ayah.. Semoga kita bersua di SyurgaNya...

Ade,

Oktober 2013

Read More

Jangan biarkan kapal kita tenggelam



Bila suatu ketika dalam suatu kondisi, kita dan segerombolan orang banyak harus mengarungi samudera luas menggunakan satu kapal yang memiliki 2 bagian, bagian atas dan bagian bawah, tentulah kita akan berebut tempat di bagian atas, bagian paling nyaman. Bagian di mana kita bisa dengan bebas menikmati indahnya laut biru, memandang riak dan gelombangnya yang bekejar-kejaran, dan bisa mengambil air dari lautan untuk berbagai keperluan.

Sementara, orang-orang yang berada di bagian bawah kapal tak seberuntung kita, jika mereka ingin melihat pemandangan atau ingin mengambil air, mereka harus naik ke atas, bolak-balik, turun-naik. Hal ini membuat kita dan sebagian orang yang berada di atas merasa terganggu. Orang-orang yang berada di bagian bawah pun merasa tidak enak karena mengganggu. Akhirnya, orang-orang yang berada di bagian bawah kapal punya ide untuk melubangi bagian bawah kapal supaya lebih mudah mengambil air dan tidak lagi mengganggu orang-orang yang berada di atas.

Kita yang berada di atas tahu mereka akan melubangi kapal sementara kapal sedang berlayar mengarungi samudera. Saudaraku, kalau mereka dibiarkan, maka ini akan membahayakan semua orang yang ada di dalam kapal, kapal ini akan tenggelam.. Kita yang berada di atas tahu kondisi ini, lalu apakah yang akan kita lakukan? apakah kita hanya diam berpangku tangan membiarkan mereka melakukan hal itu? apakah kita tidak peduli dengan kondisi tersebut dan berfikir biarlah kita tenggelam bersama yang lainnya? ataukah kita berusaha mengajak yang lainnya untuk mencegah mereka melakukan hal itu?? "Ayo kita cegah mereka sebelum kita tenggelam". Barangkali itu yang menjadi pilihan kita.

Saudaraku, inilah perumpamaan yang diberikan oleh Rasulullah SAW.
Dalam kehidupan kita ketika ber-amal ma'ruf nahi munkar, tatkala kita menyaksikan saudara-saudara kita melakukan kemungkaran, melakukan kerusakan, apa yang kita lakukan? Apakah kita membiarkan dia, kapal kita dan seisi kapal tenggelam? Tidak. Kita akan berusaha menyelamatkan diri kita, mereka, dan kapal ini agar terus berlayar sehingga akhirnya sampai di pantai impian.

Ini adalah sebuah perumpamaan yang disampaikan Rasulullah SAW. Rasulullah mengumpamakan orang-orang yang menegakkan Diinullah dan orang yang melanggarnya seperti sekelompok orang  yang diundi untuk menaiki kapal. Sebagian mendapatkan tiket kapal di bagian atas dan sebagian lagi mendapatkan tiket di bagian bawah. Lalu orang-orang yang berada di bawah melakukan kerusakan karena tidak memiliki ilmu akan hal itu. Lalu apakah kita akan membiarkan mereka? Membiarkan mereka merusak kapal yang menjadi alat satu-satunya bagi kita semua untuk mengarungi samudera kehidupan ini??

Maka, Saudaraku.. Inilah tugas kita.. menyampaikan dengan ilmu, bashirah, dengan cara yang lembut, hikmah serta akhlak yang mulia. Mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang menegakkan agama Allah, orang-orang yang menegakkan amal ma'ruf nahi munkar dengan cara yang baik, sehingga bahtera yang kita gunakan untuk menuju Allah tabaraka wa ta'ala bisa selamat sampai ke tujuan saat kaki menginjakkan kaki ke syurga Allah tabaraka wa ta'ala. Ø§ِ Ù†ْ Ø´َØ¢ Ø¡َ اللّÙ‡ُ.

#taujihpagi
#teruntuk semua saudaraku yang berada di Jalan dakwah 
Read More

Terlambat (kah?) untuk mengerti



Ini aku yang terlambat untuk mengerti. Terlambat memahami setiap kata yang kau ucapkan tiap kali aku grasah-grusuh menghadapi setiap hal yang terkesan menyakitkan, menyebalkan, menyedihkan. #menurutku.
Terlambat aku mengerti bahwa itu adalah sebuah nasihat darimu yang kuanggap sebagai "caramu" untuk menenangkan aku. Ahhh, aku hanya terfokus pada diriku, terfokus pada rasa yang membuncah dalam jiwaku, mungkin setiap tanggapanmu atas ceritaku yang terkesan "aneh" kuanggap angin lalu. Maaf aku tak bermaksud begitu.

Mungkin pun bila kau membaca tulisan ini kau akan berkata "sob, kita sudah bahas itu berkali-kali..." sambil menggaruk-garuk kepalamu yang sebenarnya tidak gatal.

Seperti siang itu, ketika mendung menutupi langit.
"ada apa?" suaramu masih saja seperti dulu...
"aku tak tahu harus dari mana memulai ceritanya..." jawabku menahan segala rasa yang berkecamuk.
"ceritakan semuanya mumpung ada paket nelpon.." jawabmu bersiap menampung ceritaku.
aku diam mencoba mencari kata yang tepat untuk memulai.
"semua sudah berubah..." entah apa yang kuinginkan.
"ah itu perasaanmu saja..." tak pernah dirimu membenarkan aku. 
"kenapa kita harus egois dengan kesibukan kita di saat kita butuh pegangan tangan untuk saling menguatkan, butuh telinga untuk mendengar, butuh pundak untuk bersandar?? lalu di mana ukhuwah itu?" jawabku seperti biasa, berputar-putar. Sejatinya aku saat itu hanya butuh pendengar yang baik.
"jangan mengeneralisir segalanya, mungkin memang saat ini masa di mana kita harus berjalan sendiri, tapi bukan berarti saling memisah diri..."
"tak ada yang abadi, termasuk hubungan kita dengan orang lain termasuk ukhuwah" katamu lagi dan terus saja dirimu berkata-kata.
"jadi, aku yang salah?"
"jangan menyalahkan diri sendiri, ini hanya masalah waktu, jika saat ini dia tak bisa bersama-sama, masih ada yang lain"
apakah itu berarti termasuk dirimu?? tanyaku dalam hati. 
"bersabarlah dan tetap semangat, semua pasti bisa dilalui..."
aku diam......
diam...
beberapa saat...

"apa kau masih di sana??"
"ya..."
"kenapa diam saja?"
"sebentar lagi turun hujaaan.. " jawabku pelan.
"ya di sini mendung..."
"di sini sudah hujan.." jawabku
"hey,, kita berada di tempat yang tidak terlalu jauh, bagaimana mungkin di sana sudah hujan..."
"hujan karena mendungnya di hatiku..."
"oohh, jangan terlalu bersedih, Innallaha ma'ana..."
"ya..."
"sudah ya, paketnya sebentar lagi habis, afwan tadi gak balas sms karna pulsanya cuma bisa buat nelpon"
"gak modal" jawabku... tertawa. akhirnya aku bisa tertawa.
"ya kan lumayan, bisa nelpon"
"baiklah"
"semangatlah biar bisa wisuda"
"ya.."
"jangan lupa hadiah wisudanya"
"mau apa?"
"sesuatu yang bisa kau buat sendiri"
"oh, baiklah. itu mah gampang. udah ya assalamu'alaykum"
"walaikumsalam"


itu masih sepenggal, besok-besoknya... aku akan terus bertanya padamu, dan kau terus saja menjelaskan. tak bosan-bosan. aku tetap saja belum mengerti...belum bisa memahami...

Seperti saat kau pergi, bertahun-tahun lamanya aku belum juga mengerti, hingga akhirnya aku tersadar. Benar-benar sadar. Tak selamanya kita bersama-sama. Semua ada batasan waktunya.

dan kini aku mencoba membingkainya dengan sebaik-baiknya, karena dulu ketika aku belum benar-benar mengerti, aku selalu saja mencoba masuk kembali ke dalam memori itu mencoba mencoret-coretnya agar bisa kembali seperti dulu, ternyata itu sebuah kesia-siaan. Bukan menjadi cantik, tapi bertambah rusak karena aku. Atau mungkin aku lah yang merusaknya terlebih dulu? ya, kurasa memang begitu. 
Maaf, aku terlambat untuk mengerti.


Teringat masa-masa itu
kau ingatkan aku keindahan itu
kau ingatkan aku kepada pencipta kita
citaku sahabat surgaku

kau selalu ada saat ku suka dan duka
kau selalu ada saat kubutuhkanmu
walaupun ku tak pernah membuatmu bahagia
kadang tak kuindahkan nasihatmu

sahabat surgaku kini telah tiada
penyesalan yang kini tersisa
sahabat surgaku kini hanya doa
yang ku persembahkan untukmu
citaku sahabat surgaku

kepada Allah ku panjatkan doaku
semoga kita semoga kita semoga kita
dipertemukan di surga-Nya

#fourteens
Read More

Mari Saling Melupakan...


Mari saling melupakan, kawan...
Indahnya pesona kebaikan yang pernah ditebar biarlah hinggap dan tumbuh mekar pada yang tersentuh hatinya...
Seperti purnama yang tak pernah meminta imbalan pada malam yang benderang karena sinarnya...
Seperti hujan yang tak pernah mengharap balasan pada bumi yang menghapus kemarau karena tetesannya...
Seperti mentari yang tak pernah menadahkan tangan pada pagi yang menyingsing karena pancaran cahayanya...

Mari kawan, mari kita lupakan...
biarlah ia terbang menuju RabbMu, 
biarlah ia tercatat dalam buku amalmu.

Tak perlu kawan, 
tak perlu kau risau bila dunia tak tahu 
pesona kebaikan itu akan tetap merekah indah menggoda 
tanpa kau tahu ia akan menari-nari dari satu hati ke hati yang lain
dan suatu ketika ia akan kembali padamu, di masa yang tak bisa kau duga 

tak perlu kau ungkap karena ia akan kehilangan pesonanya
tak perlu kau ingat karna Tuhan tak pernah lupa
lupakanlah... itu lebih indah
tebarkanlah lagi... itu lebih mulia
indahnya kebaikan itu akan terpancar dari dirimu pabila ia tak diungkap, tapi dilupakan namun terus ditebarkan benihnya hingga tumbuh berbuah manis. Buah kebaikan :)

Mari kawan, mari saling melupakan kebaikan-kebaikan yang pernah kita lakukan, karena Tuhan tak pernah lupa...

Oktober 2013



Read More

Thanks To Allah SWT and My Big Family





Alhamdulillah Wa Syukurillah,, bulan April penuh barokah dari Allah, bulan di mana Allah mengizinkan aku terlahir ke dunia ini, di bulan ini pulalah aku menuntaskan studi di Fakultas Kesehatan Masyarakat USU.

Thanks to all those who have prayed and supported me in the completion of this paper.
Afwan, bila ada nama yang tak tertuliskan di sini, tapi In Sha'a Allah, Allah tak kan melupakan kebaikan hati orang-orang yang telah mendoakan dan mendukung saya :)

KATA PENGANTAR

Ba’da tahmid dan shalawat, segala puji hanya bagi Allah Rabb semesta alam serta beriring salam kepada Rasulullah SAW yang menjadi qudwah amaliyah bagi seluruh umat manusia.

Sujud serta syukur kehadirat Allah SWT yang mengiringi penyelesaian skripsi ini yang berjudul “Peran Serta Pengadaan sarana Air Bersih di Desa Lasara Idanoi Kecamatan Gido Kabupaten Nias”.

Penulis juga mengucapkan termakasih kepada pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, khususnya kepada :

1. Bapak Dr. Drs. Surya Utama, MS, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Ir. Evi Naria, Mkes, selaku Ketua Departemen Kesehatan Lingkungan FKM USU, dan sekaligus sebagai dosen pembimbing I.
3. Ibu Prof. Dr. Dra. Irnawati Marsaulina, MS, selaku dosen pembimbing II.
4. Bapak Prof. Dr. Albiner Siagian Ir., Msi, selaku dosen pembimbing akademik.
5. Bapak Yeremia Zebua, SE, selaku kepala Desa Lasara Idanoi.
6. Seluruh dosen dan staf Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, khususnya Departemen Kesehatan Lingkungan.
7. Kedua orangtua Azhar Laoli, Amd dan Nur Jannah T. yang selalu mendukung dan mendoakan penulis dalam menjalani studi di Fakultas Kesehatan Masyarakat. Terimakasih atas semua kasih sayang yang telah dipersembahkan untuk penulis.
8. Abang tercinta, Azwar Rusdi Laoli yang langsung terjun ke lapangan serta selalu mendoakan dalam penyelesaian skripsi ini.
9. Tim “Ya’ahowu” : Alan, Bang Win dan Bang Jaya yang telah merelakan waktunya membantu penulis di lapangan.
10. Tim “A” : Abi Awwabin dan Imam Setiawan, Jazakallah atas dukungan dan doanya.
11. Doping III” dan “Doping IV” : bang Faizal Rangkuti dan Kak Arinil yang telah memberikan kritik dan saran kepada penulis sehingga skripsi ini selesai tepat pada waktunya.
12. Keluarga besarku di Medan UKMI AD-DAKWAH USU dan UKMI FKM USU yang senantiasa menyemangati, mendoakan dan mengajarkan arti sebuah perjuangan. Semoga Allah mengizinkan kita untuk reuni di SurgaNya.
13. Keluarga kecilku, “LASKAR SEMANGKOK UAD’ : Sri Lestari Zhaw, Dita Hafsari, Desi Ratna Sari, Yusri Khairunnisa, Rahmat Faizal, Bayu Syahputra, Sigit Putra Kurniawan, Yudi Irfansyah dan Imam Setiawan, Jazakumullah atas doa dan semangat yang tiada henti-hentinya diberikan kepada penulis. Tetaplah melantunkan kebaikan. Semoga Allah mengumpulkan kita kembali dalam indah SurgaNya.
14. Keluarga Besar “Pondok An-Nahl” : Kak Gema Riyani, Kak Ainun, Sri Lestari, Winni RE, Linda Handayani, Melisah Fitri, Sri Ulia Sari, Sovia “Oos”, Syukron Katsiran untuk semua kasih sayang, dukungan serta doa yang selalu diberikan kepada penulis untuk tetap berada pada garis semangat yang membara demi penyelesaian skripsi ini.
15. Saudariku dalam “Lingkaran Putih”, Jazakumullah atas doa, motivasi, dan semangat yang diberikan selama ini kepada penulis.
16. Kakak-kakak tercinta : Siska Ishaliani, Arinil Hidayah, Sukma faizah, Nina Apriyani, Dina Maya Sari, Rena Kinnara, Geni Angnestika, Fitria S. Pane, Oni Maulina, Annisa Naibaho dan Ustadzah Fadillah yang selalu mengingatkan dan mendoakan penulis untuk selalu semangat menuntaskan tugas akhir.
17. Adik-adikku sayang : Syafriana, Wahida Ukhra, Ratih Lestari, Ramadhani, Ayu Mutia Syafitri, Ayu Lestari, Ratna Juwita Sari, Ramadhanila Dewi, Rici Dina Putri, Henti Fitriani, Tiara, Rina, Imeh, Nura Miftah, Dian, Yolanda, Fira, Sovia, Alfi, Atika, Siti Sundari, Gabby, Icha, Ashel, Anif, Ebi, Enti, Desi, Siti Khodijah, Hapni, Isnaturrahmi, Una, Defi, Suliyanti, Ulfah, Rizqiana Halim yang selalu memotivasi dan mendoakan dalam penyelesaian skripsi ini.
18. Saudaraku UKMI AD-DAKWAH USU 2009-2011 : Azizah Endrastati, Cut Ida Agustina, Yoan Utami Putri, Dewi Putriani, Sri Erlina, Dina MS, Nina, Hessi Mayona, Ivana Widyasari, Dwi Karina Ariadni, Widia Sari, Rossy Nurhasanah, Lailan Sahrina, Renna Kinnara Arlotas, Tany Darmy, Ahmad Faizal Rangkuti, Fauzan Zulqarnain, Recky Suharmon, Deni Rafli, Ridho Simanungkalit. Terimakasih atas sebait kisah indah dalam dekapan ukhuwah di UAD.
19. Seluruh rekan-rekan “Forum Lingkar Tarbiyah Nias”. Terimakasih atas doa dan dukungannya. Semoga tetap istiqomah menebar kebaikan.
20. Seluruh rekan-rekan “DW” se-USU, Jazakumullah atas semangat yang luar biasa ditularkan kepada penulis. Semoga tetap menjadi satu pintu bagi berjuta ilmu, satu jiwa berjuta hikmah, satu pribadi penuh inspirasi. InsyaAllah semua kerja keras selama ini berbuah kebahagiaan dunia dan akhirat.
Penulis menyadari, skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkaa kritik 
dan saran demi kesempurnaan skripsi ini, sehingga dapat bermanfaat bagi penulis, pembaca dan penelti selanjutnya.

Medan, April 2013
Penulis

Rahmi Fitri Laoli












Read More

Di manakah Allah di hati kita??



Di pagi minggu yang syahdu mendayu menusuk qalbu, seperti biasa di sebuah pondok di kota Medan "PONDOK AN-NAHL" yang menebarkan madu-madu kebaikan, In Sha'a Allah, selalu ada taujih penyejuk hati. Seusai sholat subuh, seluruh penghuni pondok AN-NAHL berkumpul di ruang pertemuan membentuk sebuah lingkaran dan dimulailah taujih yang disampaikan oleh salah seorang penghuni Pondok.
Taujih setiap minggu pagi merupakan salah satu agenda rutin di pondok ini. sudah berlangsung 2 kali, al-awal tentang SENI MENGHADAPI UJIAN, atsani tentang IKHLAS, dan atsalist tentang DI MANAKAH ALLAH DI HATI KITA??

Bismillah..
Taujih dimulai dengan pertanyaan DI MANAKAH ALLAH DI HATI KITA??
coba direnungkan.. tanya hati.

Ali bin abi thalib berkata : azhumal khaliqu fii quluubihim, fashaghura maa duunahu fii a'yunihim. 

Para sholihin di zamannya sangat mengagungkan Allah dalam hatinya. Allah telah memenuhi dinding hati mereka, sehingga menjadi kecil dan tidak berartilah di mata mereka selain allah. jiwa mereka telah sibuk dengan Allah sehingga mereka tidak takut pada apapun kecuali Allah. Keagungan Allah benar-benar telah merajai hati mereka.

Dimanakah Allah di hati kita?? Apakah kita merasa gembira ketika berdekatan denganNya?? sejauh mana tingkat kesenangan kita ketika sujud disepertiga malam?? seberapa sejuk dan teduh hati kita ketika sujud menghadapNya?? karena sujud merupakan posisi terdekat kita dengan Allah.
indahnya ketika Allah berkata : Aku bersama dengan hamba-hamba yang mengingatKu...

Pernahkah merasakan jatuh cinta?? bukankah orang yang mencintai selalu menginginkan kesendirian bersama yang dicintainya?? apakah kepada Allah kita juga selalu ingin berkhalwat denganNya?? berdialog denganNya dengan penuh cinta??

Lalu di manakah Allah di hati kita saat kita harus melewati peristiwa pahit yang menyiksa hidup?? mampukah kita merasakan kasih sayang Allah dalam setiap peristiwa pahit yang menyakitkan itu??? karena apapun yang berasal dari Allah itu adalah indah. meski kadang kita tak mampu melihat keindahan di balik peristiwa itu.

Mari terus berlatih untuk meningkatkan cinta kepada Allah dan berusaha mendapatkan cintaNya bukan kepada selainNya. kita sudah lama hidup, tapi kita sudah terbuai oleh indahnya dunia.. berhentilah sejenak di sini,, raba hati, tanya hati, DI MANAKAH ALLAH DI DI HATI KITA??

Medan,
22 Desember 2012

Salam cinta untuk semua penghuni An-Nahl. Miss U.
Read More

Hadiah terindah dari seorang sahabat...



Ini adalah cerpen yang tercipta di masa SMA dulu,, ketika itu SMA sedang mengadakan lomba  menulis CERPEN... Cerpen pertamaku.
Meskipun ada pengubahan sedikit di sana-sini tapi tidak mengubah alur ceritanya dari yang lama.
Semoga ada hikmah yang bisa diambil :)


####

Kuhempaskan nafasku saat aku duduk di tepi ranjang. Sejenak kulayangkan pandanganku ke arah bulan purnama. Indah sekali bulan malam ini, tapi sayang tak mampu menepis rasa sedih yang menggerogoti hatiku.
Seharusnya malam ini aku bahagia karena besok adalah acara wisuda yang kutunggu-tunggu setelah berjuang keras menyelesaikan kuliahku di Fakultas Kedokteran.

Kisah sedih yang kusimpan sejak 4 tahun yang lalu kembali terbayang di benakku. Meskipun peristiwa itu sudah usang termakan waktu, aku takkan pernah bisa melupakannya, bahkan sampai detik ini aku masih merasakan pedihnya peristiwa itu.
***
“Assalamu’alaikum, Naaa.. ” kudengar suara Sinta mengucap salam. Ia baru saja sampai di depan pintu kelas, dan langsung menuju ke arahku.
“Walaikumsalam, Sin..” jawabku tersenyum.  Ia menyalamiku erat dan seperti biasa ia memberiku pelukan hangat dan cipika-cipiki. Hal yang biasa kami lakukan ketika bertemu dan akan berpisah. Salam ukhuwah yang menggetarkan jiwa dan menggugurkan dosa.
 “Na, undangan perpisahan SMA udah disebar?” tanya Sinta, sambil menaruh tasnya di atas meja.
“Wah baru datang, udah nanya-nanya undangan..” jawabku sambil membetulkan letak bros bunga yang menghiasi jilbabnya yang lebar.
“Ia nih.. aku seneng banget akhirnya guru-guru menyetujui ide kita untuk mengadakan acara bakti sosial di hari perpisahan SMA kita. Ini kan hal baru yang bermanfaat. Selama ini belum ada sejarahnya sekolah kita mengadakan perpisahan siswa kelas III dengan konsep bakti sosial. Biasanya hanya acara-acara perpisahan biasa yang diiringi musik-musik yang mengganggu telinga” jawabnya penuh antusias.
“Jadi, setiap perkembangan kegiatan ini harus terus dipantau.. hehe” tambahnya sambil tertawa.
“iya..iya.. Udah disebar kok, kemarin temen-temen panitia seksi  acara udah nyebar undangannya, pihak panti asuhan juga udah dihubungi. Alhamdulillah mereka bersedia hadir” jawabku sambil tersenyum.
“Alhamdulillah” ujarnya mengelus dada.
“Oh ya, kemarin jadi check up ke dokter?” tiba-tiba ia teringat kemarin aku gak bisa datang ke rumahnya karena harus memeriksakan kesehatanku. Rutinitas yang membosankan.
“Jadi, ditemenin sama Bunda...” ujarku tidak terlalu antusias.
“Apa kata dokternya??” tanyanya lagi, sepertinya ia kurang puas dengan jawabanku.
“Seperti biasa.. harus rajin check up, obatnya jangan lupa diminum..bla..bla..bla..” jawabku santai.
“Na, jangan gitu donk.. bener tuh kata dokternya.. Na harus jaga kesehatan biar sakitnya gak kambuh lagi...” ujarnya menasehatiku.
“Iya lhooo, Sinta sayang...” jawabku sambil mencubit pipinya dengan kuat, aku tak peduli dengan ekspresinya yang kesakitan.

Sebentar lagi sekolah kami akan mengadakan acara perpisahan untuk siswa-siswa kelas III yang akan menamatkan pendidikannya di sekolah ini. Aku, Sinta dan beberapa teman yang lain ingin membuat kesan indah sebelum meninggalkan sekolah yang sangat kami cintai ini. Kami mengajukan konsep baru yang belum pernah diadakan selama ini di sekolah. Awalnya pihak guru dan kepala sekolah kurang setuju, karena menurut mereka ini adalah acara perpisahan, kok ada bakti sosialnya?
Sinta dengan santun  menjelaskan kepada guru-guru apa manfaat dari konsep acara ini.
“Begini Pak, Bu.. kami mewakili siswa-siswa kelas III ingin menyampaikan aspirasi kami kepada Bapak dan Ibu guru. Kami ingin acara perpisahan kali ini berbeda dari tahun-tahun yang lalu. Kami ingin berbagi kebahagiaan dengan orang lain atas kelulusan yang kami peroleh dan juga sebagai bentuk kesyukuran kami karena kami bisa menyelesaikan pendidikan kami selama 3 tahun di sekolah ini. Selain itu, konsep ini nantinya akan memberikan dampak positif bagi adik-adik yang diasuh di panti asuhan tersebut, mereka akan semangat untuk terus melanjutkan pendidikan sehingga bisa meraih cita-cita mereka.” Ujar Sinta panjang lebar.
Kami mengamini dalam hati, dan berdoa semoga ide ini disetujui oleh guru-guru dan kepala sekolah.
“Baiklah, saya rasa idenya sangat bagus, tapi jangan sampai kehilangan makna dari acara perpisahan itu sendiri” jawab Bapak kepala Sekolah dengan bijak.
“Baik Pak, InsyaAllah” jawab Sinta tersenyum puas. Kami bersorak dalam hati.
“Saatnya beraksi” bisik Sinta padaku.

Aku tersenyum bangga pada sahabatku yang satu ini. Semangatnya luar biasa. Prinsip hidupnya adalah berbagi kebahagiaan kepada banyak orang. Ketika kita sedang berbahagia, bagikanlah kebahagiaan itu kepada orang lain. Itu yang selalu ia ucapkan padaku. Geraknya lincah, meskipun dengan balutan jilbab yang lebar, sama sekali tidak menggangu misinya untuk berbagi pada orang lain.
***
Sudah hampir seminggu kami berjibaku mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk menyukseskan acara ini. Aku sebagai koordinator acara harus benar-benar maksimal dalam mengemban amanah ini. Segalanya harus rampung dua hari sebelum hari H. Karena terlalu sibuk, aku jarang istirahat, tenaga dan pikiran terkuras habis untuk acara ini.
“Na, kok pucat banget?” tanya Sinta dengan pandangan penuh khawatir.
“Istirahat dulu deh, Na kelihatan lemes banget... jangan sampai kambuh lagi sakitnya..” tambahnya sambil menuntunku menuju kursi yang sudah tersusun rapi di tengah aula sekolah.
“Iya...” jawabku lemah. Aku merasakan sakit di bagian dadaku. Muncul ketakutan dalam hatiku, aku takut penyakit ini kambuh lagi. Aku menyesal tidak mengatur waktu dengan baik, sehingga tak ada waktu untuk istirahat.
“Aku antar pulang aja ya??” tanya Sinta. Ia semakin khawatir dengan keadaanku.
“Gak usah Sin, ntar  baikan juga kok.. Cuma butuh istrahat sebentar...” jawabku mencoba meyakinkannya.
Ia memandangku, sambil berucap “Syafakillah ya saudariku...”. Aku membalasnya dengan senyum sembari menahan sakit.
***
Alhamdulillah acara perpisahan SMA berlangsung sukses. Kami sebagai panitia sangat senang melihat kerja keras kami akhirnya berbuah indah. Bapak dan Ibu guru sangat bahagia dan bangga pada kami. Tapi, di balik kebahagiaan ini, aku sedang berusaha menahan sakit di sudut aula. Mungkin karena aku terlalu capek, penyakit kelainan jantung yang kuderita sejak aku masih bayi kambuh lagi. Selama ini aku berusaha menahan rasa sakit ini, tapi hari ini.. aku tak mampu lagi. Kurasakan tubuhku  jatuh lunglai dibarengi suara jeritan orang-orang disekitarku. Dan  aku tak ingat apa-apa lagi.
***
Tubuhku terbaring kaku dikelilingi peralatan medis. Koma. Keadaanku sangat kritis, satu-satunya yang harus dilakukan adalah transplantasi jantung. Dokter yang menanganiku tengah berusaha mencari donor jantung, keluargaku pun turut panik mencari ke sana kemari. Sinta dan teman-teman yang lain ikut membantu. Sinta berusaha mencari donor jantung ke berbagai rumah sakit yang ada. Dengan mengendarai motornya, Sinta ngebut di jalanan yang ramai. Yang ada dibenaknya hanyalah keselamatan nyawaku, apapun akan ia lakukan demi kesembuhanku. Tapi… untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Tiba-tiba muncul seorang anak yang hendak menyeberangi jalan. Sinta tersentak kaget, ia mencoba mengelak. Namun sayang… Sinta malah menabrak mobil konteiner. Kecelakaan tragispun terjadi. Sinta mengalami luka serius, warga sekitar segera melarikannya ke rumah sakit yang sama dengan rumah sakit tempat aku di rawat dan kini kami sama-sama berjuang untuk hidup.
Akibat kecelakaan itu Sinta kehilangan banyak darah, sementara di rumah sakit persediaan darah sedang kosong. Tak ada seorangpun keluarga maupun teman-temanku yang hadir saat itu yang memiliki golongan darah yang sama dengan Sinta.
Di saat-saat kritisnya, Sinta sempat berkata pada dokter dengan perlahan, “Dok… jika saya meninggal, tolong berikan jantung saya pada Ratna, sahabatku…” Setelah mengucapkan kalimat itu Sinta menghembuskan nafas terakhir dan meninggalkan dunia ini untuk selama-lamanya. Innalillahi wa’inna ilaihi roji’un. Semua yang hadir saat itu tak mampu membendung airmata… di saat-saat terakhirnya, masih sempat-sempatnya Sinta memikirkan keselamatan sahabatnya, sungguh mulia hatinya.
Setelah melakukan segala prosedur yang dibutuhkan dan sudah mendapat izin dari keluarga Sinta, maka para Dokter bersiap melaksanakan operasi transplantasi jantung. Saat operasi berlangsung, aku berjuang antara hidup dan mati. Keluarga dan teman-temanku berharap-harap cemas,  entah sudah berapa banyak doa yang mereka lantunkan untuk kesembuhanku.
Akhirnya operasi itu selesai setelah berjam-jam keluarga dan teman-temanku terombang-ambing dalam kecemasan. Dokter yang mengoperasiku keluar dari ruang operasi. “Bagaimana keadaan putri saya, Dokter…?” tanya Bunda seraya menghampiri sang dokter dengan penuh harap. “Alhamdulillah, putri Ibu selamat melewati masa kritisnya, operasi transplantasi jantung berhasil”
Setelah melewati operasi yang begitu lama, ternyata Allah masih memberiku kesempatan untuk menghirup udara dan melanjutkan kehidupanku. Kubuka mataku perlahan. Kupandang wajah keluarga dan teman-teman yang setia menemaniku di saat-saat  aku kritis, terpancar kebahagiaan di wajah mereka. Aku tak dapat melukiskan kebahagiaan yang dirasakan keluarga dan teman-temanku pada saat itu.  Tapi… aku tak melihat sosok Sinta di antara kerumunan orang-orang itu. Di mana dia? Seharusnya dia ada di sini.
“Bunda, Sinta di mana? Mengapa dia tidak ada di sini?” tanyaku pada Bunda.
“Sintaa,, hmm Sintaa…sudah pulang” jawab Bundaku pelan.
“Oh begitu…”
Saat itu aku tak menduga kalau “pulang” yang dimaksud Bunda adalah pulang menghadap Allah, aku baru tahu berita kematian Sinta  seminggu kemudian. Saat aku mendengar hal itu, aku menjerit histeris, jiwaku seakan melayang. Aku tertunduk lemas, tanpa terasa airmataku berlinang dan yang membuat aku semakin shock adalah saat ku tahu bahwa jantung yang kini memompa hidupku adalah jantung Sinta… Sinta merelakan hidupnya demi aku.
Ah… rasa duka disertai penyesalan yang mendalam berkecamuk dalam jiwaku, akulah penyebab kematian Sinta. Dia meninggal saat mencari donor jantung untukku dan dia merelakan jantungnya untukku. Semua ini membuatku terpukul.
“Sinta… mengapa kamu melakukan semua ini? Jika aku tahu akan begini jadinya, aku takkan menerima jantungmu. Lebih baik aku menderita kelainan jantung daripada harus kehilangan dirimu…!”
Hari-hari berikutnya kulalui penuh kesedihan. Aku belum bisa menerima kepergian Sinta. Selama ini akulah yang selalu dihantui oleh kematian karena penyakit ini. Aku lah yang selama ini berusaha mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk dalam hidupku. Aku tak pernah menyangka Sinta yang lebih dulu meninggalkan dunia ini.
 Setiap hari, aku hanya mengurung diri di kamar. Aku bahkan enggan melanjutkan studiku ke perguruan tinggi. Keluargaku terutama Bunda sangat cemas melihat keadaanku sekarang.
“Sayang … tidak baik berlarut-larut dalam kesedihan… Na harus bisa menerima kenyataan, semua yang terjadi adalah kehendak Allah.  
“Tapi, Bun.. Ratnalah yang menyebabkan kematian Sinta..” suaraku bergetar. Airmataku tumpah, kesedihan yang tak terbendung.
“Nak, kepergian Sinta sudah menjadi kehendak Allah. Cepat atau lambat kita juga akan merasakan mati, hanya saja Sinta pergi lebih dulu..  Na harus bangkit dari kesedihan.. Bukankah dulu Na dan Sinta pernah bercita-cita menjadi seorang dokter… mengapa Na tidak mewujudkan cita-cita kalian itu? Mungkin Sinta memberikan jantungnya pada Na agar Na bisa mewujudkan cita-cita kalian menjadi seorang dokter …”
Nasehat Bunda kali ini mampu menggerakkan hatiku. Dulu… aku dan Sinta pernah berjanji, setelah tamat SMA kami akan melanjutkan studi ke perguruan tinggi dan mengambil jurusan kedokteran.
“Sinta… aku berjanji, aku akan mewujudkan cita-cita kita itu…!” bisikku dalam hati.
Suara detak jarum jam dinding di kamarku memecah sunyi, ternyata sudah pukul 12 malam. Aku merebahkan tubuhku di tempat tidur dan beberapa saat kemudian aku terlelap dalam mimpi indah… aku bertemu Sinta dalam mimpiku, dia tersenyum padaku.
***
 Suara azan membangunkanku dari tidurku… aku beranjak dari tempat tidur, menunaikan sholat subuh berjama’ah. Sesuai sholat kuhaturkan puji dan syukur atas segala karunia yang diberikan Allah kepadaku dan tak lupa kuselipkan lantunan doa untuk Sinta, semoga Allah memasukkannya ke dalam Surga Firdausnya. Amin.
Pada acara prosesi wisuda, Ayah dan Bunda ikut hadir, kedua orangtua Sinta pun turut serta memeriahkan hari yang berbahagia ini.
Seusai acara, aku segera menemui Ayah dan Bunda. Aku bersimpuh di hadapan mereka… kemudian kupeluk Bundaku dengan erat.
“Selamat anakku… selamat atas keberhasilanmu…” ujar Bundaku lembut.
“Terimakasih Ayah, terimakasih Bunda…” jawabku penuh haru. Airmataku  menetes. Kemudian, aku menghampiri kedua orangtua Sinta yang sejak tadi memandangiku dari kejauhan. Ibu Sinta mendekapku erat, airmatanya berlinang seakan-akan dia mendapati sosok anaknya dalam diriku.
“Bu… Ratna telah mewujudkan cita-cita Ratna dan Sinta… mudah-mudahan  Sinta merasakan kebahagiaan ini…”
Setelah acara selesai, aku tidak langsung pulang ke rumah, ada tempat yang harus kudatangi. Bergegas kaki ini melangkah pergi menuju suatu tempat bersemayamnya pemilik jantung yang kini memompa hidupku.
Aku mampir ke makam Sinta. Di depan gundukan makam Sinta, aku berjongkok dan tertunduk. Untuk sekian kalinya airmataku berlinang.
Beberapa saat aku terdiam… kuhempaskan nafasku, kemudian kutarik dalam-dalam…
“Saudariku… hari ini aku telah mewujudkan cita-cita kita… semua ini tak dapat kuraih tanpa pengorbananmu, tanpa jantungmu yang kini bersemayam dalam diriku, aku takkan pernah melupakan kebaikanmu. Biarlah kusimpan kasih sayang serta pengorbananmu, hingga nanti aku akan ada di sana menemani dirimu. Aku akan selalu berdoa untukmu, sampai jumpa di surga.

Di sini kita pernah bertemu
Mencari warna seindah pelangi
Ketika kau mengulurkan tanganmu
Membawaku ke daerah yang baru
Dan hidupku kini ceria
Kini dengarkanlah
Dendangan lagu tanda ingatanku kepadamu teman
agar ikatan ukhuwah kan bersimpul padu
Kenangan bersamamu takkan kulupa
Walau badai datang melanda
Walau bercerai jasad dan nyawa
Mengapa kita ditemukan, dan akhirnya kita dipisahkan
Mungkinkah menguji kesetiaan, kejujuran dan kemanisan iman
Tuhan berikan daku kekuatan
Kini dengarkanlah
Dendangan lagu tanda ingatanku kepadamu teman
agar ikatan ukhuwah kan bersimpul padu
Mungkinkah kita terlupa
Tuhan ada janjinya
Bertemu berpisah kita ada rahmat dan kasihnya
Andai ini ujian, terangilah kamar kesabaran
Pergilah derita hadirlah cahaya

#Untukmu teman_Brothers


***
Read More

Cahaya Dari Negeri Sakura



"Jadi.. diam menjadi pilihanmu ??
Hening. Yang ditanya bergeming.  Hanya sunyi yang mengayun di antara kami.

"Tak adakah maaf untuk seorang wanita yang karenamu ia membenci dirinya seumur hidup???!!!" kali ini aku berteriak di sela tangis ku yang terisak pilu.

Ku pandangi punggungnya, berharap ia menoleh ke belakang sekali saja.. 

Angin bertiup mengusik bunga-bunga sakura yang sedang bermekaran, seperti diriku yang mungkin kini hadir untuk mengusik hidupnya. Kurasa ia berpikir begitu tentangku, orang yang baru seminggu dikenalnya."Aku akan pulang, tapi tidak sekarang.. Entah kapan.." jawabnya pelan, sangat pelan hingga angin pun tak sempat mengembuskan ucapannya.

"Pulanglah.." katanya mencoba melangkah pergi, meninggalkanku.
Sepahit itukah???



***

Namaku Cahaya. Panggil saja Aya. Sebenarnya di akte kelahiran namaku Ai No Hikari. Nenek tidak mau aku menggunakan nama yang berbau-bau jepang. Bukan, bukan hanya namaku, semua yang berkaitan dengan jepang nenek sangat tidak suka. Entah kenapa. Hingga nenek memanggilku dengan nama Cahaya. Aku cahaya bagi kakek dan nenekku. Yah, cahaya cinta penepis kelam dalam hidup mereka. Kelam yang berwujud duka mendalam semenjak kematian anak perempuan mereka satu-satunya. Ibuku. 

Aku tengah berlari-lari mengejar waktu, aku tak tahu siapa yang menang, tapi kuyakin waktupun tak mau mengalah barang sedetik. Tak ada pilihan, aku yang harus menambah kecepatan lariku. Aku tak mau terlambat. tinggal 10 menit lagi waktu yang tersisa.

Huuuuhft.. hampir saja!!  Masih ada waktu 2 menit untuk check in. Kusodorkan segala yang dimintai petugas yang menangani keberangkatan luar negeri. Yah, sesuai dugaan, tak ada kendala yang berarti. Aku segera mencari bangku paling nyaman di waiting room, yang kubutuhkan adalah sebotol air minum. Berlari-lari cukup menguras energiku. 

Belum lagi sempat kutarik nafas, suara bising petugas bandara memaksaku untuk bergegas naik pesawat. Jakarta-Tokyo.


*** 

Di Jepang sedang musim semi..
Kota ini bermerah jambu ria menyambut kuncup-kuncup sakura yang bermekaran, menggelar tikar duduk melingkar dengan sanak keluarga atau teman berhanami dengan riangnya. Hmmm,, kehangatan keluarga yang tak pernah kurasa. Ku rindu ayah ibuku. Kedua orangtuaku yang tak pernah kurasakan dengan jelas belai kasihnya, panggilan sayang dari mulutnya atau sekedar mengucapkan selamat ulang tahun.Ada cairan hangat yang menetes di pipiku... Sakura yang sedang mekar itu membawa ingatanku pada pembicaraan serius antara kakek dan aku di joglo taman rtadi malam. Pembicaraan yang menguak tabir sejarah kehidupanku. Sejarah tentang keluargaku.

.... Kututup pintu kamar nenek dengan pelan... Aku tak sanggup melihatnya terkulai lemah. Ini kondisi terparah yang pernah dialami nenek. Belakangan ini, nenek memang sering sakit, tapi tak separah kali ini. Dari balik jendela kulihat kakek duduk termenung di joglo... Seperti sedang memikirkan sesuatu yang cukup menguras pikirannya. Mungkin kakek begitu sedih melihat kondisi nenek yang melemah.

Kakek melambaikan tangannya memanggilku.
"Aya, sudah liat keadaan nenek...? " kakek memandangku sayu.

"Sudah kek..." jawabku pelan.

"Aya, apakah aya menyayangi nenek...?" tanyanya lagi. Kali ini sambil menengadah memandang langit yang tak berbintang. Kelam. Sekelam hati kakek saat ini.

"Tentu saja, kek... kenapa kakek bertanya seperti itu?"

"Bagaimana dengan islam? Apakah Aya begitu membenci islam?" kakek terus bertanya padaku yang belum mengerti kemana sebenarnya arah pembicaraan ini.

"Tentu saja!! Aku sangat membenci islam! karena islam telah merenggut nyawa ibuku.. merenggut kebahagiaan yang seharusnya ada untuk kita..." jawabku penuh benci.

"Aya.. jangan terlalu membenci sesuatu.. karena sesuatu yang kau benci itu, suatu saat bisa jadi menjadi sesuatu yang sangat kau cintai..."

"Mencintai islam?? Itu tidak akan terjadi kek..!!" jawabku lantang dengan penuh keyakinan. Mana mungkin aku bisa mencintai sesuatu yang telah membunuh ibu??

Kali ini kakek menatapku. "Maukah Aya mendengar cerita yang sebenarnya tentang ibu dan ayahmu..?"

"Cerita yang sebenarnya?? Apa maksud kakek...?? Bukankah nenek sudah menceritakan segalanya?" jawabku heran." Ai No Hikari, inilah waktu yang tepat untuk menceritakannya. Tapi, kakek minta dirimu bisa menerima kenyataan ini dengan bijak. Kakek yakin aya sudah cukup dewasa untuk memahami hal ini.. "Aku mengangguk. Apa sebenarnya yang terjadi di masa lalu?"Ibumu adalah seorang gadis yang cantik ketika ia masih muda seperti dirimu. Ia berhati mulia lagi ramah. Kakek dan nenek sangat menyayanginya. Ia anak semata wayang kami. Kepergiannya melanjutkan studi ke Jepang membuat kami sedih, terutama nenekmu. Tapi, ibu terus saja meyakinkan nenek kalau ia akan baik-baik saja dan setiap hari akan kirim kabar. Kami merelakannya..." kakek memulai ceritanya...

Ia mendehem seolah menyembunyikan sedihnya..

"4 tahun berlalu... kami mendapat undangan wisuda dari kampusnya. Berangkatlah kakek dan nenek dengan kegembiraan. Sesampainya di sana kegembiraan itu sirna. Ibumu bukan dia yang dahulu. Ia memakai penutup kepala yang orang muslim menyebutnya jilbab. Ibumu ternyata telah berpindah keyakinan. Nenek shock. Kebencian menjalar hingga ke ulu hati. Kakek pun begitu. Nenek tak mengganggap ibumu sebagai anaknya lagi. Bagi nenek, ibumu telah mati. Kakek tak bisa berbuat apa-apa. Sebagai seorang ayah, kakek merindukan ibumu. Ingin sekali memeluknya dan berkata : apapun yang terjadi, kau tetap anakku. Itu yang tak bisa kakek lakukan Aya... Bagaimana mungkin bisa?? itu hanya menambah luka di atas perih hati nenekmu... Di negeri di mana hampir semua orang menyembah matahari, ibumu malah menjadi seorang muslim. Kakek tak habis pikir, Aya.. Ahh, mungkin inilah yang disebut hidayah. Ianya hadir menyapa siapa saja, di mana saja..."

"Ibuku memeluk islam atas keinginannya sendiri...?? Bukankah kata nenek ia dipaksa oleh laki-laki yang menjadi suaminya...??" aku bertanya penuh keheranan.

"Semua cerita yang kau dengar dari nenekmu itu bohong, Aya..." jawab kakek sesekali memandang langit. Mencoba menahan airmatanya yang hampir jatuh.

Apa?? Tega sekali nenek membohongiku. Ia membuatku membenci islam sampai ke urat-urat nadiku. aku teringat penghinaanku pada Annisa, teman kampusku yang memakai jilbab lebar, kemana-mana membawa kitab suci yang mereka sebut al-Qur'an. Aku teringat sikap kasarku kepadanya, aku menarik jilbab lebarnya yang merusak pemandangan. Ya Tuhan, aku sudah mempermalukannya di depan semua orang. Aku terlahir jahat karena kebohongan ini.

"Luka itu semakin menganga, menggores tanpa ampun, ketika kami didatangi oleh seorang pria keturunan Indonesia-Jepang yang ingin meminang ibumu. Takashi. Pria itu bernama Ahmad Takashi. Pria yang ternyata satu keyakinan dengan ibumu" 

Kakek terus saja bercerita, aku pun semakin ingin tahu kebenaran masa lalu ibuku. Aku tak percaya, selama 18 tahun aku hidup dalam sebuah kebohongan besar!

"Nenek menduga ayahmulah penyebab ibumu beralih agama. Ia sangat membenci ayahmu. Menikahlah dengan anak durhaka itu!! Tak perlu kau meminta restuku, dia bukan anakku! Anakku sudah mati!!. Nenekmu tak mampu menahan amarahnya. Kakek hanya berbisik : Bila engkau bisa menjaga putriku dengan baik, bila engkau bisa membuat dia bahagia, menikahlah dengannya.. Kakek merestui mereka...

"Ya Tuhan, inikah yang terjadi...?

"Kakek memang belum bisa menerima ibumu secara utuh, Aya... karena dia sudah meninggalkan agama yang sudah turun temurun diajarkan nenek moyang kita. Tapi, bagaimana pun itu ia tetap anakku" kali ini kakek tak mampu membendung air matanya.. Untuk pertama kali dalam hidupku aku melihat kakek meneteskan airmata. Perih yang ia tanggung selama bertahun-tahun menusuk-nusuk hatinya.."

Aya, ketika 10 tahun berlalu... luka di hati nenekmu belum juga sembuh. Tak kami sangka, Ibu dan ayahmu datang  ke Indonesia membawa seorang anak lelaki berusia 9 tahun"

"Aya punya kakak, kek??" setiap tanyaku adalah heran. Bagaimana tidak? Cerita ini penuh misteri. Aku tak pernah tahu kalau aku punya saudara kandung. Selama ini aku tahu diriku terlahir sebagai anak tunggal seperti ibuku.

"Ya.. Kakakmu seorang anak lelaki yang tampan, Koichi Mustafa, laki-laki pilihan yang bersinar. Kira-kira itulah arti namanya. Anak lelaki yang mampu meluluhkan hati kakek, tapi tidak dengan nenekmu... walau waktu sudah berlalu, nenekmu tetap saja menyimpan perih itu" 

Sebegitu bencinya nenek pada islam. Aku pun menjadi bagian dari kebencian ini. Nenek dengan lihainya menanamkan kebencian dalam  diriku. Kebencian berkedok kebohongan.

"Tak ada kata maaf yang terucap untuk ibumu. Ibumu yang tengah hamil tua kala itu memohon-mohon kepada nenekmu tapi tetap saja. Hatinya bergeming pilu. Sudah tak ada lagi tempat untuk ibumu di hatinya..."

Air mataku meleleh tanpa izin. Nenek, tega sekali pada ibu...

"Sebulan setelah pertemuan itu, lahirlah dirimu, Aya.. Bayi mungil yang cantik seperti ibumu. Bayi yang nantinya menjadi Cahaya cinta bagi ayah, ibu, kakek dan nenek. Kakek ingin sekali melihatmu ketika itu, tapi nenekmu melarang kakek. Ahh, nenekmu menyimpan perih yang teramat sangat, kebaikan dan kelembutan hati ibumu serta wajah-wajah mungil cucunya tak mampu meluluhkan hatinya yang membeku"
Kakek menghela nafas sangat dalam,,,

"Ibumu sudah berusaha keras, aya... Tapi, nenekmu belum juga membuka hatinya. Ayah dan ibumu akhirnya memutuskan untuk kembali ke Jepang. Mereka tak ingin membuat nenek terus menderita dengan keberadaan mereka. . Entah kapan bisa bertemu dengan kalian lagi..."

Malam semakin larut...Tapi kisah ini belum usai. Aku ingin tahu semua kebenaran ini, malam ini. aku tak mau lagi hidup dalam kebohongan...

"Aya, dalam perjalanan menuju bandara, kalian mengalami kecelakaan hebat. Ayah dan ibumu tak tertolong. Mereka meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit. Sebelum meninggal ibumu berpesan, agar kalian tinggal bersama keluarga ayahmu di Jepang. Nenekmu saat itu tak mampu berkata. Ada perih baru yang hadir, bertumpuk-tumpuk dalam dadanya. Bisa kau bayangkan betapa sakitnya itu. Ia menangis histeris memanggil-manggil nama ibumu. Anna Maria..."

Aku terisak... hatiku menjerit memanggil Ibuku.
Ibu, mengapa begitu tragis??

"Kakek mengira, dengan kematian ibumu... kebencian nenek berangsur hilang... Pada kenyataannya nenekmu semakin memupuk benci itu, tanpa kakek sadari ternyata telah tumbuh dan mengakar kuat dalam hatinya..."

Kebencian yang kini ia tularkan padaku... Aku mulai menyesali sikap nenek.

"Nenekmu membuat rencana agar kalian tetap tinggal di Indonesia, dan tentu saja, menganut agama kami... Nenek tak mengizinkan keluarga ayahmu membawa kalian pergi..." 

Ahhh.. Tuhan, aku tak percaya ini. Aku terlahir sebagai seorang muslim!!

"Kakakmu yang berusia 9 tahun tidak mau berpindah agama. Cahaya islam sudah begitu terang dalam mata hatinya. Nenek terus saja memaksa. Bahkan tak segan untuk memperlakukan kakakmu dengan kasar...""Suatu malam, ketika keluarga ayahmu datang menjemput kalian... Nenekmu bersikeras melarang mereka... Kakek mencoba membujuk nenekmu tapi ia tak menggubris... Nenekmu benar-benar berubah menjadi jahat..."Kakek menyeka air matanya... "Nenek membawa kalian berdua pergi keluar kota malam itu juga... Terburu-buru ia mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi... kami mengejarnya... Kakakmu memberontak di dalam mobil, ia mencoba membuka pintu mobil daaaan... Bruuuk!!! Kakakmu tercampak keluar mobil, terguling-guling... Darahnya mengalir deras..."

Ya Tuhaaan!! aku menjerit.
"Apa yang terjadi dengan kakak? Lalu bagaimana dengan Aya ketika itu kek??" Aku benar-benar tak ingat kejadian mengerikan itu. Tentu saja, aku masih 10 bulan ketika itu.

"Kakakmu terluka parah... Sementara dirimu tetap bersama nenekmu yang melaju dengan kecepatan tinggi...""Nenek tak menghentikan mobilnya, kek...?? Tega sekali nenek melakukan hal itu!!!" 

Aku mulai membenci nenek.

"Aya, kau tak boleh membenci nenekmu" kakek melihat kebencian di mataku.

"Walau bagaimanapun... neneklah yang selama ini sudah merawat dan membesarkanmu..."

Kali ini, aku yang menghela nafas dalam-dalam... Begitu berat menjalani malam bersama kisah pilu ini. Tapi lebih berat lagi bagi kakek yang menjalaninya  dan harus mengenangnya kembali demi mengungkap kebenaran.

"Apa yang terjadi setelah itu, kek??"

"Kakakmu di bawa ke Jepang untuk menjalani pengobatan intensif... Sementara dirimu tinggal bersama bibimu di pinggir kota sampai usia 6 tahun... Barulah kami mengambilmu dan tinggal bersama kami sampai sekarang... Kami menyimpan kisah ini dengan rapi. Semua ini atas keinginan nenekmu. Kakek tak punya pilihan, Aya... karena nenekmu mengancam akan membuangmu jika kami tak menuruti kemauannya..."

"Lalu bagaimana nasib kakak, kek?" 

"Sejak kecelakaan itu hanya 2 kali kakek mendapat kabar dari keluarga ayahmu.."

"Pertama, mereka mengabarkan kakakmu mengalami patah tulang di bagian kakinya.. kabar kedua...." kakek berhenti, mencoba mencari kalimat yang tepat untuk mengatakannya.. "Ia meninggal dunia karena kecelakaan itu... setelah itu, tak pernah lagi ada kabar apapun

"Kini tangisku pecah. kisah hidup keluargaku benar-benar tragis... aku terisak.
Kakek menepuk pundakku..."Aya, inilah kesedihan yang kakek pendam selama ini. Kakek yang tak punya kekuatan untuk menentang tindakan nenekmu, karena kakek tak mau terjadi sesuatu pada nenekmu.. Ia sudah terlalu perih kehilangan anaknya, makanya ia berbuat seperti itu...""Aya, dirimu terlahir sebagai seorang muslim, kakek dan nenekmulah yang membuatmu beralih keyakinan... Sekarang, Terserah pada Aya.. Aya kini telah dewasa, sudah bisa memilih jalan hidup sendiri..." 

Kakek masuk ke dalam rumah, bebrapa saat kembali duduk di sampingku. 
Ia mengambil sebuah buku. Ahh, tidak. Itu al-Qur'an!!!

"Kakek membaca al-Qur'an???" kataku heran. Kakek adalah seorang hamba Tuhan yang taat. Bagaimana mungkin ia memiliki kitab umat islam itu?

"Ini milik Ibumu. Terjatuh ketika kecelakaan itu. Kakek menyimpannya dan pernah beberapa kali membacanya..." Kakek tersenyum "Aya, Islam itu indah". 

Aku terkejut mendengar perkataan kakek.
"Apakah kakek sudah memeluk islam??" aku tak bisa menduga jawaban apa yang akan dikatakan kakek.
"Suatu saat itu akan terjadi, Aya..." Jawab kakek sambil mengelus kitab itu.

"Aya, maukah membantu kakek??" 

"Apa yang bisa aya lakukan untuk kakek?" apapun itu akan aku lakukan untuk membuatmu bahagia, kek..

"Besok pagi, aya terbang ke tokyo. Cari kakakmu"  jawab kakek.

"Apa? Bukankah kakak sudah meninggal?" bagaimana aku bisa menemukan orang yang sudah meninggal?

"Beberapa hari yang lalu kakek mendapat kabar kalau ternyata dia masih hidup. Keluarga ayahmu menyembunyikan keberadaannya agar nenekmu tidak mencarinya... Sama seperti yang dilakukan nenekmu. Dia membohongi keluarga ayahmu. Ia katakan bahwa dirimu juga telah meninggal dunia"

Ya Tuhan, sungguh pembohongan yang terencana!!!

"Aya tahu kan nenek sedang sakit keras saat ini... Ia ingin bertemu dengan kakakmu... Ia ingin menebus segala dosanya selama ini. Ia ingin langsung meminta maaf pada kakakmu, pada kalian berdua... Ia tidak ingin mati membawa segala kebencian di hatinya... Kebohongan yang dilakukannya selama ini hanyalah ketenangan sesaat. Dan bila tak diselesaikan, akan menjadi kegelisahan seumur hidup baginya"


***

"Apa kau masih mengenalku??" tanyaku menatap lelaki bermata sipit di depanku. Ia berpakaian seperti mahasiswa lelaki di kampusku yang sering nongkrong di mesjid kampus.

"Maaf, anda siapa, apa kita pernah kenal sebelumnya??" tanyanya penuh selidik.

"Aku, adikmu Ai no Hikari" jawabku menunggu reaksi selanjutnya.

"Apa? aku tak salah dengar? Ai sudah lama meninggal. Bagaimana anda tahu nama itu?" Ia setengah terkejut. Tapi tetap saja tenang. Hanya angin semilir yang menggoyang-goyang kemeja birunya.

Aku mencoba menceritakan kisah yang kudengar dari kakek kepadanya.
Tak kusangka dia menangis.

"Lalu apa agama yang kau peluk sekarang adikku??" tanyanya mengubah kata "Anda" menjadi "adikku"

"Sama seperti kakek dan nenek." jawabku bimbang. Aku tahu dia tak menyukai jawaban ini. Seharusnya kami berada dalam keyakinan yang sama.

"Ohh...." ia mengatakan "Ohh" dengan nada kecewa.

"Nenek memintamu kembali ke Indonesia" kataku lagi.
Yang ditanya diam.
"Nenek sudah berubah, kak... Ia ingin meminta maaf padamu, pada kita"
Dia tetap saja diam. Kali ini ia membalikkan tubuhnya seolah akan beranjak pergi.

"Diam bukan solusi" ujarku lagi berusaha menghentikan niatnya untuk pergi. 

"Apakah agamamu tidak mengajarkan tentang memaafkan kesalahan orang lain??" ini senjata terakhirku untuk membujuknya.

"Kakak sudah memaafkannya sejak dulu...
Ia menghela nafas..."Aku akan pulang, tapi tidak sekarang.. Entah kapan.." jawabnya pelan, sangat pelan hingga angin pun tak sempat mengembuskan ucapannya.

"Kembalilah ke Indonesia.." katanya mencoba melangkah pergi, meninggalkanku.

"Demi Tuhanmu... Pulanglah bersamaku, apakah kakak tega melihat nenek membenci dirinya sendiri seumur hidupnya?" aku berteriak. Aku takkan pulang tanpa hasil.

"Ai, apakah dirimu mencintai islam??" tanyanya.
"Ya..." jawabku yakin. Ini cinta pertamaku yang kusampaikan pada dunia.
"Begitupun dengan kakek... Kami membutuhkan bimbinganmu..." jawabku tersenyum.

"Lalu, bagaimana dengan nenek? apakah kisah pahit itu akan terulang kembali?" tanyanya ragu.

"Biarlah ia mendapatkan secercah cahaya dari negeri sakura ini seperti cahaya yang menerangi hati ibu"
Ia tersenyum. 
"Ayo kita pulang membawa cahaya itu..."

Bunga-bunga sakura yang bermekaran ini menjadi  saksi.


***

Read More