Hadiah terindah dari seorang sahabat...



Ini adalah cerpen yang tercipta di masa SMA dulu,, ketika itu SMA sedang mengadakan lomba  menulis CERPEN... Cerpen pertamaku.
Meskipun ada pengubahan sedikit di sana-sini tapi tidak mengubah alur ceritanya dari yang lama.
Semoga ada hikmah yang bisa diambil :)


####

Kuhempaskan nafasku saat aku duduk di tepi ranjang. Sejenak kulayangkan pandanganku ke arah bulan purnama. Indah sekali bulan malam ini, tapi sayang tak mampu menepis rasa sedih yang menggerogoti hatiku.
Seharusnya malam ini aku bahagia karena besok adalah acara wisuda yang kutunggu-tunggu setelah berjuang keras menyelesaikan kuliahku di Fakultas Kedokteran.

Kisah sedih yang kusimpan sejak 4 tahun yang lalu kembali terbayang di benakku. Meskipun peristiwa itu sudah usang termakan waktu, aku takkan pernah bisa melupakannya, bahkan sampai detik ini aku masih merasakan pedihnya peristiwa itu.
***
“Assalamu’alaikum, Naaa.. ” kudengar suara Sinta mengucap salam. Ia baru saja sampai di depan pintu kelas, dan langsung menuju ke arahku.
“Walaikumsalam, Sin..” jawabku tersenyum.  Ia menyalamiku erat dan seperti biasa ia memberiku pelukan hangat dan cipika-cipiki. Hal yang biasa kami lakukan ketika bertemu dan akan berpisah. Salam ukhuwah yang menggetarkan jiwa dan menggugurkan dosa.
 “Na, undangan perpisahan SMA udah disebar?” tanya Sinta, sambil menaruh tasnya di atas meja.
“Wah baru datang, udah nanya-nanya undangan..” jawabku sambil membetulkan letak bros bunga yang menghiasi jilbabnya yang lebar.
“Ia nih.. aku seneng banget akhirnya guru-guru menyetujui ide kita untuk mengadakan acara bakti sosial di hari perpisahan SMA kita. Ini kan hal baru yang bermanfaat. Selama ini belum ada sejarahnya sekolah kita mengadakan perpisahan siswa kelas III dengan konsep bakti sosial. Biasanya hanya acara-acara perpisahan biasa yang diiringi musik-musik yang mengganggu telinga” jawabnya penuh antusias.
“Jadi, setiap perkembangan kegiatan ini harus terus dipantau.. hehe” tambahnya sambil tertawa.
“iya..iya.. Udah disebar kok, kemarin temen-temen panitia seksi  acara udah nyebar undangannya, pihak panti asuhan juga udah dihubungi. Alhamdulillah mereka bersedia hadir” jawabku sambil tersenyum.
“Alhamdulillah” ujarnya mengelus dada.
“Oh ya, kemarin jadi check up ke dokter?” tiba-tiba ia teringat kemarin aku gak bisa datang ke rumahnya karena harus memeriksakan kesehatanku. Rutinitas yang membosankan.
“Jadi, ditemenin sama Bunda...” ujarku tidak terlalu antusias.
“Apa kata dokternya??” tanyanya lagi, sepertinya ia kurang puas dengan jawabanku.
“Seperti biasa.. harus rajin check up, obatnya jangan lupa diminum..bla..bla..bla..” jawabku santai.
“Na, jangan gitu donk.. bener tuh kata dokternya.. Na harus jaga kesehatan biar sakitnya gak kambuh lagi...” ujarnya menasehatiku.
“Iya lhooo, Sinta sayang...” jawabku sambil mencubit pipinya dengan kuat, aku tak peduli dengan ekspresinya yang kesakitan.

Sebentar lagi sekolah kami akan mengadakan acara perpisahan untuk siswa-siswa kelas III yang akan menamatkan pendidikannya di sekolah ini. Aku, Sinta dan beberapa teman yang lain ingin membuat kesan indah sebelum meninggalkan sekolah yang sangat kami cintai ini. Kami mengajukan konsep baru yang belum pernah diadakan selama ini di sekolah. Awalnya pihak guru dan kepala sekolah kurang setuju, karena menurut mereka ini adalah acara perpisahan, kok ada bakti sosialnya?
Sinta dengan santun  menjelaskan kepada guru-guru apa manfaat dari konsep acara ini.
“Begini Pak, Bu.. kami mewakili siswa-siswa kelas III ingin menyampaikan aspirasi kami kepada Bapak dan Ibu guru. Kami ingin acara perpisahan kali ini berbeda dari tahun-tahun yang lalu. Kami ingin berbagi kebahagiaan dengan orang lain atas kelulusan yang kami peroleh dan juga sebagai bentuk kesyukuran kami karena kami bisa menyelesaikan pendidikan kami selama 3 tahun di sekolah ini. Selain itu, konsep ini nantinya akan memberikan dampak positif bagi adik-adik yang diasuh di panti asuhan tersebut, mereka akan semangat untuk terus melanjutkan pendidikan sehingga bisa meraih cita-cita mereka.” Ujar Sinta panjang lebar.
Kami mengamini dalam hati, dan berdoa semoga ide ini disetujui oleh guru-guru dan kepala sekolah.
“Baiklah, saya rasa idenya sangat bagus, tapi jangan sampai kehilangan makna dari acara perpisahan itu sendiri” jawab Bapak kepala Sekolah dengan bijak.
“Baik Pak, InsyaAllah” jawab Sinta tersenyum puas. Kami bersorak dalam hati.
“Saatnya beraksi” bisik Sinta padaku.

Aku tersenyum bangga pada sahabatku yang satu ini. Semangatnya luar biasa. Prinsip hidupnya adalah berbagi kebahagiaan kepada banyak orang. Ketika kita sedang berbahagia, bagikanlah kebahagiaan itu kepada orang lain. Itu yang selalu ia ucapkan padaku. Geraknya lincah, meskipun dengan balutan jilbab yang lebar, sama sekali tidak menggangu misinya untuk berbagi pada orang lain.
***
Sudah hampir seminggu kami berjibaku mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk menyukseskan acara ini. Aku sebagai koordinator acara harus benar-benar maksimal dalam mengemban amanah ini. Segalanya harus rampung dua hari sebelum hari H. Karena terlalu sibuk, aku jarang istirahat, tenaga dan pikiran terkuras habis untuk acara ini.
“Na, kok pucat banget?” tanya Sinta dengan pandangan penuh khawatir.
“Istirahat dulu deh, Na kelihatan lemes banget... jangan sampai kambuh lagi sakitnya..” tambahnya sambil menuntunku menuju kursi yang sudah tersusun rapi di tengah aula sekolah.
“Iya...” jawabku lemah. Aku merasakan sakit di bagian dadaku. Muncul ketakutan dalam hatiku, aku takut penyakit ini kambuh lagi. Aku menyesal tidak mengatur waktu dengan baik, sehingga tak ada waktu untuk istirahat.
“Aku antar pulang aja ya??” tanya Sinta. Ia semakin khawatir dengan keadaanku.
“Gak usah Sin, ntar  baikan juga kok.. Cuma butuh istrahat sebentar...” jawabku mencoba meyakinkannya.
Ia memandangku, sambil berucap “Syafakillah ya saudariku...”. Aku membalasnya dengan senyum sembari menahan sakit.
***
Alhamdulillah acara perpisahan SMA berlangsung sukses. Kami sebagai panitia sangat senang melihat kerja keras kami akhirnya berbuah indah. Bapak dan Ibu guru sangat bahagia dan bangga pada kami. Tapi, di balik kebahagiaan ini, aku sedang berusaha menahan sakit di sudut aula. Mungkin karena aku terlalu capek, penyakit kelainan jantung yang kuderita sejak aku masih bayi kambuh lagi. Selama ini aku berusaha menahan rasa sakit ini, tapi hari ini.. aku tak mampu lagi. Kurasakan tubuhku  jatuh lunglai dibarengi suara jeritan orang-orang disekitarku. Dan  aku tak ingat apa-apa lagi.
***
Tubuhku terbaring kaku dikelilingi peralatan medis. Koma. Keadaanku sangat kritis, satu-satunya yang harus dilakukan adalah transplantasi jantung. Dokter yang menanganiku tengah berusaha mencari donor jantung, keluargaku pun turut panik mencari ke sana kemari. Sinta dan teman-teman yang lain ikut membantu. Sinta berusaha mencari donor jantung ke berbagai rumah sakit yang ada. Dengan mengendarai motornya, Sinta ngebut di jalanan yang ramai. Yang ada dibenaknya hanyalah keselamatan nyawaku, apapun akan ia lakukan demi kesembuhanku. Tapi… untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Tiba-tiba muncul seorang anak yang hendak menyeberangi jalan. Sinta tersentak kaget, ia mencoba mengelak. Namun sayang… Sinta malah menabrak mobil konteiner. Kecelakaan tragispun terjadi. Sinta mengalami luka serius, warga sekitar segera melarikannya ke rumah sakit yang sama dengan rumah sakit tempat aku di rawat dan kini kami sama-sama berjuang untuk hidup.
Akibat kecelakaan itu Sinta kehilangan banyak darah, sementara di rumah sakit persediaan darah sedang kosong. Tak ada seorangpun keluarga maupun teman-temanku yang hadir saat itu yang memiliki golongan darah yang sama dengan Sinta.
Di saat-saat kritisnya, Sinta sempat berkata pada dokter dengan perlahan, “Dok… jika saya meninggal, tolong berikan jantung saya pada Ratna, sahabatku…” Setelah mengucapkan kalimat itu Sinta menghembuskan nafas terakhir dan meninggalkan dunia ini untuk selama-lamanya. Innalillahi wa’inna ilaihi roji’un. Semua yang hadir saat itu tak mampu membendung airmata… di saat-saat terakhirnya, masih sempat-sempatnya Sinta memikirkan keselamatan sahabatnya, sungguh mulia hatinya.
Setelah melakukan segala prosedur yang dibutuhkan dan sudah mendapat izin dari keluarga Sinta, maka para Dokter bersiap melaksanakan operasi transplantasi jantung. Saat operasi berlangsung, aku berjuang antara hidup dan mati. Keluarga dan teman-temanku berharap-harap cemas,  entah sudah berapa banyak doa yang mereka lantunkan untuk kesembuhanku.
Akhirnya operasi itu selesai setelah berjam-jam keluarga dan teman-temanku terombang-ambing dalam kecemasan. Dokter yang mengoperasiku keluar dari ruang operasi. “Bagaimana keadaan putri saya, Dokter…?” tanya Bunda seraya menghampiri sang dokter dengan penuh harap. “Alhamdulillah, putri Ibu selamat melewati masa kritisnya, operasi transplantasi jantung berhasil”
Setelah melewati operasi yang begitu lama, ternyata Allah masih memberiku kesempatan untuk menghirup udara dan melanjutkan kehidupanku. Kubuka mataku perlahan. Kupandang wajah keluarga dan teman-teman yang setia menemaniku di saat-saat  aku kritis, terpancar kebahagiaan di wajah mereka. Aku tak dapat melukiskan kebahagiaan yang dirasakan keluarga dan teman-temanku pada saat itu.  Tapi… aku tak melihat sosok Sinta di antara kerumunan orang-orang itu. Di mana dia? Seharusnya dia ada di sini.
“Bunda, Sinta di mana? Mengapa dia tidak ada di sini?” tanyaku pada Bunda.
“Sintaa,, hmm Sintaa…sudah pulang” jawab Bundaku pelan.
“Oh begitu…”
Saat itu aku tak menduga kalau “pulang” yang dimaksud Bunda adalah pulang menghadap Allah, aku baru tahu berita kematian Sinta  seminggu kemudian. Saat aku mendengar hal itu, aku menjerit histeris, jiwaku seakan melayang. Aku tertunduk lemas, tanpa terasa airmataku berlinang dan yang membuat aku semakin shock adalah saat ku tahu bahwa jantung yang kini memompa hidupku adalah jantung Sinta… Sinta merelakan hidupnya demi aku.
Ah… rasa duka disertai penyesalan yang mendalam berkecamuk dalam jiwaku, akulah penyebab kematian Sinta. Dia meninggal saat mencari donor jantung untukku dan dia merelakan jantungnya untukku. Semua ini membuatku terpukul.
“Sinta… mengapa kamu melakukan semua ini? Jika aku tahu akan begini jadinya, aku takkan menerima jantungmu. Lebih baik aku menderita kelainan jantung daripada harus kehilangan dirimu…!”
Hari-hari berikutnya kulalui penuh kesedihan. Aku belum bisa menerima kepergian Sinta. Selama ini akulah yang selalu dihantui oleh kematian karena penyakit ini. Aku lah yang selama ini berusaha mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk dalam hidupku. Aku tak pernah menyangka Sinta yang lebih dulu meninggalkan dunia ini.
 Setiap hari, aku hanya mengurung diri di kamar. Aku bahkan enggan melanjutkan studiku ke perguruan tinggi. Keluargaku terutama Bunda sangat cemas melihat keadaanku sekarang.
“Sayang … tidak baik berlarut-larut dalam kesedihan… Na harus bisa menerima kenyataan, semua yang terjadi adalah kehendak Allah.  
“Tapi, Bun.. Ratnalah yang menyebabkan kematian Sinta..” suaraku bergetar. Airmataku tumpah, kesedihan yang tak terbendung.
“Nak, kepergian Sinta sudah menjadi kehendak Allah. Cepat atau lambat kita juga akan merasakan mati, hanya saja Sinta pergi lebih dulu..  Na harus bangkit dari kesedihan.. Bukankah dulu Na dan Sinta pernah bercita-cita menjadi seorang dokter… mengapa Na tidak mewujudkan cita-cita kalian itu? Mungkin Sinta memberikan jantungnya pada Na agar Na bisa mewujudkan cita-cita kalian menjadi seorang dokter …”
Nasehat Bunda kali ini mampu menggerakkan hatiku. Dulu… aku dan Sinta pernah berjanji, setelah tamat SMA kami akan melanjutkan studi ke perguruan tinggi dan mengambil jurusan kedokteran.
“Sinta… aku berjanji, aku akan mewujudkan cita-cita kita itu…!” bisikku dalam hati.
Suara detak jarum jam dinding di kamarku memecah sunyi, ternyata sudah pukul 12 malam. Aku merebahkan tubuhku di tempat tidur dan beberapa saat kemudian aku terlelap dalam mimpi indah… aku bertemu Sinta dalam mimpiku, dia tersenyum padaku.
***
 Suara azan membangunkanku dari tidurku… aku beranjak dari tempat tidur, menunaikan sholat subuh berjama’ah. Sesuai sholat kuhaturkan puji dan syukur atas segala karunia yang diberikan Allah kepadaku dan tak lupa kuselipkan lantunan doa untuk Sinta, semoga Allah memasukkannya ke dalam Surga Firdausnya. Amin.
Pada acara prosesi wisuda, Ayah dan Bunda ikut hadir, kedua orangtua Sinta pun turut serta memeriahkan hari yang berbahagia ini.
Seusai acara, aku segera menemui Ayah dan Bunda. Aku bersimpuh di hadapan mereka… kemudian kupeluk Bundaku dengan erat.
“Selamat anakku… selamat atas keberhasilanmu…” ujar Bundaku lembut.
“Terimakasih Ayah, terimakasih Bunda…” jawabku penuh haru. Airmataku  menetes. Kemudian, aku menghampiri kedua orangtua Sinta yang sejak tadi memandangiku dari kejauhan. Ibu Sinta mendekapku erat, airmatanya berlinang seakan-akan dia mendapati sosok anaknya dalam diriku.
“Bu… Ratna telah mewujudkan cita-cita Ratna dan Sinta… mudah-mudahan  Sinta merasakan kebahagiaan ini…”
Setelah acara selesai, aku tidak langsung pulang ke rumah, ada tempat yang harus kudatangi. Bergegas kaki ini melangkah pergi menuju suatu tempat bersemayamnya pemilik jantung yang kini memompa hidupku.
Aku mampir ke makam Sinta. Di depan gundukan makam Sinta, aku berjongkok dan tertunduk. Untuk sekian kalinya airmataku berlinang.
Beberapa saat aku terdiam… kuhempaskan nafasku, kemudian kutarik dalam-dalam…
“Saudariku… hari ini aku telah mewujudkan cita-cita kita… semua ini tak dapat kuraih tanpa pengorbananmu, tanpa jantungmu yang kini bersemayam dalam diriku, aku takkan pernah melupakan kebaikanmu. Biarlah kusimpan kasih sayang serta pengorbananmu, hingga nanti aku akan ada di sana menemani dirimu. Aku akan selalu berdoa untukmu, sampai jumpa di surga.

Di sini kita pernah bertemu
Mencari warna seindah pelangi
Ketika kau mengulurkan tanganmu
Membawaku ke daerah yang baru
Dan hidupku kini ceria
Kini dengarkanlah
Dendangan lagu tanda ingatanku kepadamu teman
agar ikatan ukhuwah kan bersimpul padu
Kenangan bersamamu takkan kulupa
Walau badai datang melanda
Walau bercerai jasad dan nyawa
Mengapa kita ditemukan, dan akhirnya kita dipisahkan
Mungkinkah menguji kesetiaan, kejujuran dan kemanisan iman
Tuhan berikan daku kekuatan
Kini dengarkanlah
Dendangan lagu tanda ingatanku kepadamu teman
agar ikatan ukhuwah kan bersimpul padu
Mungkinkah kita terlupa
Tuhan ada janjinya
Bertemu berpisah kita ada rahmat dan kasihnya
Andai ini ujian, terangilah kamar kesabaran
Pergilah derita hadirlah cahaya

#Untukmu teman_Brothers


***

No comments on "Hadiah terindah dari seorang sahabat..."

Leave a Reply

Terimakasih telah membaca, semoga bermanfaat dan menginspirasi. Silahkan tinggalkan jejak anda di sini :D