Gadis Berjilbab Hijau Muda yang Menjemput Cahaya



Malam. Langit telah menunjukkan pesonanya. Warna kelamnya mempertegas kilauan bintang yang berkedip-kedip. Ini telah larut. Bulan yang sedari tadi kuintip dari celah jendela kamar kostku menyunggingkan senyum terindahnya. Malam ini indah. Tapi hatiku gundah gelisah. Entah sudah berapa puluh kali aku berpindah-pindah posisi di kamarku yang mungil ini. Duduk, berdiri, rebah, bangun lagi, duduk, berdiri lagi. Bosan! Ada apa dengan hatiku?

Kuraba ponsel layar sentuhku, jari jemari menari dengan lincah membawaku terhanyut dalam dunia maya. Terhanyut, namun tak mampu menenggelamkan gelisah yang mendera hatiku. Apa sebenarnya yang kugelisahkan?

Entah sudah malam keberapa aku seperti ini. Hatiku tidak lagi mencintai malam. Mataku tidak lagi merindukan pejam. Ia hanya mematung menatap kelam. Pikiranku menerawang. Ia terhenti pada keping waktu kebersamaanku dengan Nadirah di suatu sore. Ada hal yang membuat hatiku terketuk-ketuk pada sepenggal kisah itu. Ketukan berbunyi senandung tanya. Yah! senandung tanya yang melantunkan gelisah di hatiku.

"Azmi, nanti sore sepulang kerja temani aku ke studio foto, bisa?" Gadis yang sebentar lagi akan berangkat umrah itu ingin kutemani berfoto untuk melengkapi dokumen umrahnya.

"Hmm, baiklah..."

Kami berjalan bersisian memasuki studio foto terdekat dari kantor.
Di ruang ganti, cermin memenuhi dinding ruangan yang hampir menyamai ukuran kamar kostku. Aku melihat cermin. Ada sesosok gadis muda yang cantik dengan rambut terurai sepanjang bahu. Itu aku. Hmm, CANTIK! namun... aku merasa ada yang kurang. Tapi, apa?

"Mi, bantuin dong, pasangin jilbabnya. Aku belum terbiasa."
Aku mencoba membantunya mengenakan jilbab putih yang sengaja ia bawa dari rumah. Kali ini, ia harus berfoto menggunakan jilbab karena itu salah satu syarat pendaftaran umrah. Pas photo memakai jilbab ukuran 4x6 cm.

Selesai. Kini, rambut lurusnya yang hitam telah tertutup dengan rapi oleh jilbab putihnya. Sempurna! Kecantikannya sempurna. Jilbab putih itu menjadikan kecantikannya terpancar dan lebih teduh. Meneduhkan hati. Ahhh, mungkinkah ini "sesuatu yang kurang" yang terbersit di hatiku tadi? Aku memandang Nadirah dan diriku secara bergantian di cermin itu. Hmmm, mungkinlah.

"Cantik gak, Mi?" dengan senyum manisnya ia melempar tanya yang sebenarnya ia sudah tahu jawabannya.
"Cantik, Nad... Tapi, sayangnya di kantor belum bisa ya," jawabku spontan. Entah mengapa aku berkata seperti itu. 

"Ada niat, Mi?"

Aku hanya tersenyum.
Niat? Sepertinya ia pernah singgah di hatiku beberapa waktu lalu. Mengetuk-ngetuk dinding hatiku setelah aku membaca sebuah postingan seseorang tentang jilbab yang ia kirimkan ke inbox Facebook ku. Yah, kini ketukan-ketukan itu kembali hadir, bahkan kini ia terdengar berirama syahdu menyanyikan lagu rindu. Rindu pada ketenangan jiwa. Namun, hatiku belum mampu menari bersama lantunannya. Karena... ahh mungkin aku akan kehilangan pekerjaanku bila aku memilih untuk mendengar ketukan-ketukan yang berirama syahdu ini.

Yah, inilah yang ternyata kugundahkan sedari tadi.


***

Malam berikutnya. Langit masih indah seperti malam-malam kemarin bahkan lebih indah lagi. Malam ini, langit bermandikan cahaya. Seperti hatiku yang kini bukan hanya sekedar melantunkan lagu rindu tetapi telah berdansa dan terhanyut dalam kilauan cahaya seolah cahaya langit telah menyinari ruang hatiku, dan aku pun menjemputnya dengan senyuman terindah.

Kini, tak ada lagi kegelisahan yang mampu menggelapkan sudut ruang hatiku. Bilapun ada, mungkin hanya sepersekiannya yang sedikit mengusik. Tapi hatiku telah teguh. Seteguh langkah kaki yang menggerakkan hatiku membeli sebuah jilbab hijau muda di sebuah butik muslimah dekat kos-kosanku. Aku duduk di depan cermin dan mulai memakainya. Aku tersenyum. Aku seperti melihat sosok lain dalam cermin itu. Apa itu aku?  Yah! itu aku. Terlihat anggun. Ada keteduhan yang menjelma dalam jiwa ini.

Kusiapkan hatiku  untuk memulai hari yang baru bersama dengan jilbab ini besok pagi. Karena, besok akan menjadi saksi terlahirnya hati yang baru. Aku telah siap dengan segala konsekuensi atas perubahan penampilanku. Bismillah. Kuserahkan segalanya pada Allah.


***

Seorang gadis berjilbab hijau muda berjalan dengan penuh bahagia menuju sebuah kantor tempat ia bekerja. Sedari subuh, ahh tidak. Sedari malam sebenarnya, ia telah melantunkan beribu-ribu doa kepada Tuhannya atas pilihan yang telah ia teguhkan dalam hatinya. Ia ingin menjadi insan  baru yang patuh atas titah Tuhannya. Meski secercah kegundahan masih saja bersemayam di hatinya, tapi ia yakin bahwa Tuhan takkan pernah meninggalkan dirinya. Yah, gadis berjilbab hijau muda yang menjemput cahaya. Itulah aku.

"Eeeh, ada anak baru ya.." rekan satu divisi mencandaiku.
"Bukan anak baru, tapi anak lama dengan hati yang baru..." sahut Nadirah yang tiba-tiba datang dan merangkul bahuku. Aku tersenyum.

"Selamat ya Mi, selamat telah meneguhkan hati... Kamu jadi tambah cantik, seperti seorang bidadari yang berkilaun cahaya..." tambahnya lagi membuatku semakin mantap dengan keputusanku.

"Kami mendukungmu, Miiiiiiii...!!" teman-teman lain bersahut-sahutan memberi dukungan dan semangat. Ooh, sungguh sesuatu yang "wah" memang memakai jilbab di kantor ini dan aku yang memulainya setelah mendapat cahaya dari Allah.

Sudah dua hari aku memakai jilbab ke kantor dan hari ini cobaan itu datang. Hatiku bergetar, namun ia tetap tegar.

"Nona Azmi Kirana, sebaiknya pertimbangkan kembali keputusan anda memakai jilbab di kantor ini. Hal ini akan mengganggu kemajuan karir anda. Beberapa hari yang lalu, permohonan promosi kenaikan jabatan anda ditangguhkan." 

Perkataan yang keluar dari mulut kepala divisiku menohok hatiku teramat dalam. Sudah kuduga hal ini terjadi. Aku limbung. Keteguhan yang telah kusiapkan jauh-jauh hari diuji hari ini. Aku bimbang. Langkahku gontai. Aku benar-benar bingung. Airmataku mengalir tak tertahankan. Allah, kuatkan hatiku...
***
Aku menangis dalam sujud panjangku. Allah, maafkanlah diriku yang lemah ini. Mengapa ia teramat takut kehilangan pekerjaan? Harusnya ia takut pada Dzat yang memberikan rezeki...
Aku menyesalkan diriku yang goyah hanya karena dunia. Sudah dua hari kulepas jilbabku hanya karena takut diriku tak mendapatkan posisi yang kuidam-idamkan sejak lama di kantor itu. Hatiku tersiksa. Ia berhenti menari tapi secercah cahaya masih setia menyinari. Ia tersedu-sedu merindu... Merindu kasih Tuhannya.

Ahh, aku tak ingin terus seperti ini. Terhanyut dalam gelombang kegelisahan. Aku harus menentukan sikap. Terkadang, dalam meraih kebahagiaan harus ada pengorbanan. Kembali kuhimpun keteguhan dalam hati ini. Aku hanya yakin, keputusan yang diambil dengan ketulusan akan menghadirkan keikhlasan.

Kuraih laptop hijauku, tak lama kuketik sebuah kalimat yang menjadi penentu atas kegundahan yang mendera batinku.

"SURAT PENGUNDURAN DIRI"

Aku memilih resign, dan menjemput cahaya dari langit yang berkilauan menerangi hatiku yang sunyi ini. Bismillah.


***


Kuhirup udara pagi kampung halamanku.
Terasa kesejukan memenuhi rongga paru-paruku, yang kemudian mengalir di setiap nadiku. Memberi energi pada jiwa yang tenang. Yah, kini jiwaku benar-benar tenang karena telah memilih keputusan yang benar.
Setelah melayangkan surat pengunduran diri, aku memutuskan untuk menenangkan diri di kampung halaman. Mencoba menghimpun kembali keping-keping semangat dan kebahagiaan bersama ibunda tercinta.
Ibu sedikit terkejut dengan keputusanku keluar dari pekerjaan. Namun, ia tetap memberi dukungan terbaiknya untukku.Yah, anggap saja tahun ini aku mudik lebih awal. Sebulan sebelum ramadhan. Ingin kuisi ramadhan kali ini dengan ketenangan yang khusyuk. Kupersiapkan segalanya di bulan Sya'ban. Mengisi diri yang hampa dengan mendekatkan diri pada yang Kuasa. Yang hilang jangan ditangisi, karena Tuhan akan memberi lebih dari itu. Aku yakin itu. Kini, jilbab itu dengan setia menjagaku. Menjaga diriku, menjaga auratku, menjaga hatiku. Sepenuhnya.

Ramadhan kali ini terasa indah, berkumpul dengan keluarga, sahur dan berbuka bersama. Sholat berjama'ah dan melantunkan ayat-ayat suci Allah. Benar-benar memberi kekuatan yang dahsyat seumpama tanah gersang yang dibasahi oleh hujan yang lebat. Menghidupkan.

Ramadhan berlalu, Syawalpun di ufuk rindu.
Sedih berlalu, bahagiapun memelukku.
Allah benar-benar mendengar doaku. Kau tahu apa itu? seminggu lagi aku harus kembali ke Jakarta, karena aku sudah di terima kerja! Di sebuah perusahaan ternama dan tentu saja disana tak ada larangan memakai jilbab.
Allah memang sebaik-baik pembuat rencana. Ia gantikan sedihku dengan sesuatu yang lebih bermakna. Terimakasih Allah. Kini, aku leluasa menari dalam kilauan cahaya yang terang benderang dari langit. Aku menjemputnya. Menjemput cahaya.


# Cerpen ini dipersembahkan untuk kakanda tercinta yang telah menjemput cahayaNya. Mari berdoa untuk keistiqomahannya dan untuk kita semua yang telah memilih jilbab sebagai identitas kita. :)

Saat hujan bulan juni membasahi pulau Nias,
20 Sya'ban 1435H

Cahaya Surga

    

No comments on "Gadis Berjilbab Hijau Muda yang Menjemput Cahaya"

Leave a Reply

Terimakasih telah membaca, semoga bermanfaat dan menginspirasi. Silahkan tinggalkan jejak anda di sini :D