Satu Cinta




Engkau satu cinta yang selamanya aku cari
Tiada waktu ku tinggalkan demi cinta ku kepada mu
Walau seribu rintangan kan menghadang dalam diri
Ku teguhkan hati ini hanya pada Mu
Ku pasrahkan


_Star five

Aku tak tahu, apakah aku akan kembali ke sini lagi... Ke kampung halamanku yang menyimpan pahit manis kisah perjalanan hidupku. Untuk sekarang, aku memang harus pergi demi satu cinta yang selama ini kucari. 

***

Ramadhan, 1433 Hijriyah

Langit malam ini penuh bintang berkilauan. Bulan masih berbentuk sabit, tentu saja karena ini masih awal Ramadhan. Ramadhan tahun ini membawaku pulang. Bukan karena ingin mudik lebih awal atau ingin berkumpul dengan keluarga menjalankan ibadah di bulan puasa bersama-sama. Alasan kedua itu tidak mungkin kulakukan. Karena sudah jelas ada tembok besar pemisah antara aku dan keluargaku. Tembok keyakinan.

Inilah kali pertama aku menginjakkan kaki di kampung halamanku sejak aku memilih islam. Sebenarnya, aku sangat merindukan kampung halaman, namun aku tak ingin pulang sebelum keislaman ini kokoh di dalam jiwaku. Sejak mengucapkan syahadat cinta, aku mondok di pesantren selama tiga tahun. Aku ingin mengisi jiwaku dengan ilmu agama yang aku benar-benar buta tentangnya. Tapi, kalimat La ilaha illallah sudah bersemayam kuat dalam relung jiwa, hingga aku berani menanggung kosekuensi tidak diakui sebagai anak. Sungguh menyakitkan. Tapi inilah pilihan hidup yang harus kulalui demi satu cinta. Cintaku pada islam, cintaku pada Allah.

Malam semakin larut, aku ingin segera tertidur namun mata ini belum juga terpejam. Pertemuan besok sedikit membuatku gundah gelisah. Pertemuan dengan kedua orangtuaku di suatu tempat yang tak pernah terbersit di benakku. Kantor polisi. Pertemuan ini ternyata bermuara di sana.

Masih tersimpan jelas dalam memoarku, jejak-jejak perjalanan hidupku menemukan cinta ini.
Setelah menyelesaikan kuliah di universitas keagamaan, aku tak lantas pulang kampung. Aku ingin memperoleh pengalaman kerja di kota. Kala itu, bapak dan ibu mengizinkan. Siapa sangka? Menunda kepulangan adalah pilihan terbaik.

Hari-hari usai wisuda berlalu, tak disangka suatu ketika takdir mempertemukan aku kembali dengan seorang pemuda yang dahulu pernah bekerja di kampungku. Dia dan rekan-rekan kerjanya melaksanakan proyek pembangunan di sana. Merekalah orang islam pertama yang masuk ke kampung kami, karena seluruh masyarakat di kampung menganut keyakinan yang sama dengan kami. Dulu, kami sering diskusi seputar agama. Dari dialah aku mengenal islam.

Takdir mempertemukan kami di sini. Aku kembali membuka ruang diskusi dengannya seperti dulu. Dari diskusi inilah semakin hari aku semakin tertarik dengan islam. Hingga Allah berikan aku hidayah terindah. Hatiku memilih islam. Setelah hatiku mantap dengan agama ini, akhirnya aku mengucapkan kalimat Syahadat. Yah, syahadat cinta. Kini, aku bukan lagi yang dulu, aku telah terlahir kembali sebagai seorang muslim. Keberkahan terus mengalir dalam hidupku. Pemuda itu, yang menyadarkanku akan agama yang indah ini akhirnya melamarku. Kami pun menikah tanpa restu dari kedua orangtuaku. Meski ini bukan kehendak hatiku, namun bapak dan ibu dari awal memang tak merestuiku berpindah agama apalagi menikah dengan seorang muslim. Kebahagiaan semakin bertambah dengan kehadiran bayi laki-laki yang mungil, buah cinta kami. 

Dua tahun usia pernikahan kami, bapak dan ibu datang mengujungiku. Mereka ingin melihat dan menggendong cucunya. Inilah kali pertama pertemuan kami setelah aku menjadi seorang muslimah.
Aku mengganggap kedatangan bapak dan ibu adalah sebuah tanda keikhlasan mereka akan jalan hidup yang kini kupilih. Tak sempat terrpikirkan olehku bahwa ada sesuatu di balik pertemuan itu. Aku hanya bahagia bisa bertemu dan berkumpul kembali dengan kedua orangtuaku.

"Ayahmu ingin mengajak Ammar ke kampung bertemu dengan keluarga di sana."
Sehari sebelum Bapak dan Ibu pulang, Ibu mencoba membujukku mengizinkan Ammar pulang bersama mereka.
"Tidak lama, seminggu saja. Bapak akan mengantar Ammar lagi ke sini." Ibu terus berusaha membujuk. Namun, hati ini masih berat. Banyak hal yang harus dipertimbangkan.
"Biarlah ini menjadi hadiah dari ketulusan kami merelakanmu berpindah agama." Lagi-lagi, Ibu menggunakan cara ini untuk meluluhkan hatiku.
Entah apa yang kupikirkan saat itu, pada akhirnya aku mengizinkan rencana Bapak dan Ibu membawa Ammar, seminggu. Ya hanya seminggu saja. Tak boleh lebih dari itu.

Ahh, seminggu itu ternyata hanya sebuah janji yang tak pernah tertunaikan. Seminggu. Itu hanyalah sebuah alasan. Atau mungkin bisa dikatakan sebuah jebakan. Aku tak menyangka Bapak dan Ibu menggunakan cara itu untuk mengambil Ammar dariku. Aaahh, mereka menggunakan Ammar sebagai senjata untuk mengembalikanku pada kondisi dahulu. Hal yang tak pernah terpikirkan sedikitpun. Kini, tidak lagi seminggu tapi  setahun!  setahun sudah mereka memisahkanku dengan Ammar.

"Kami akan mengembalikan Ammar asalkan kamu kembali pada agama kita. Agama nenek moyang kita." Sebuah ultimatum yang menyesakkan jiwa. Bagaimana mungkin aku mengabulkan permintaan kedua orangtuaku? Bagaimana mungkin aku berpaling dari cahaya yang menerangi jiwaku yang selama lebih 25 tahun tenggelam dalam kegelapan??

Tak ada jalan lain. Aku terpaksa menempuh jalan ini, Bu. Mengambil Ammar dengan jalur hukum yang mungkin akan menambah kebencian kalian padaku. Maafkanlah, anakmu ini...

Malam semakin larut, kututup hari ini dengan untaian doa.  Semoga Allah melindungiku dan keluargaku, menghidupkan kami dalam islam dan mematikan kami pula dalam keadaan islam.

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan muslim(Ali Imran : 102)

***

"Tega sekali kamu melakukan ini pada orangtuamu."
Aku tak mampu menatap wajah Ibu. Aku tahu kemarahan itu sudah memenuhi ruang hatinya, hingga ia tak mampu lagi memikirkan keadaanku. Sudah setahun  aku terpisah dari anakku, apakah sebuah kedurhakaan pabila aku ingin menginginkan darah dagingku sendiri??

Ibu tak datang sendiri. Seluruh kakak-kakakku, paman, bibi, dan sepupu-sepupuku datang berbondong-bondong. Aku menelan semua kata-kata pahit yang terlontar dari mereka. Tak ada gunanya melawan. Yang ku ingin saat ini adalah Ammar pulang bersamaku.

"Ayo pulang, kita bicarakan ini baik-baik." Ibu mencoba berunding denganku.

"Tidak, Bu. Seandainya saja Ibu menepati janji Ibu, aku mungkin tak kan menggunakan cara ini untuk mengambil Ammar. Apapun yang terjadi, aku harus membawa Ammar bersamaku."

"Biarkan Ammar tinggal bersama kami. Toh, sebentar lagi kamu akan melahirkan, kamu tidak akan merasakan kehilangan karena kehadiran Ammar akan digantikan oleh adiknya." Ibu tetap saja bersikeras. Ooh, Ibu tidakkah engkau menaruh kasihan sedikit saja pada anakmu ini? Bagaimana mungkin seorang Ibu bisa dipisahkan dengan anak kandungnya yang masih sekecil itu??

Kami terus saja berdebat. Namun, secara hukum, akulah yang berhak atas Ammar.

"Tak ada gunanya Ibu bersikeras seperti itu. Secara hukum, Ibu Nur Hidayah sebagai  ibu kandung dari anak ini yang berhak mengasuh anak ini."
Pihak kepolisian mencoba menengahi kami.
"Mau dibawa ke pengadilan pun, akan sia-sia dan membuang banyak waktu dan tenaga, lebih baik, Ibu menempuh jalan damai saja."

"Tidak bisa, Pak. Anak ini adalah keturunan kami. Kami juga punya hak atas anak ini. Apalagi, Ibunya  sebentar lagi akan melahirkan seorang anak. Harusnya dia merelakan anak ini pada kami." Ibu tetap saja ngotot.

"Kalau Ibu tetap bersikeras, silahkan Ibu menempuh jalur hukum. Walau bagaimanapun, kami pihak kepolisian tetap akan menjaga Ibu Nur Hidayah dan mengantarkan beliau pulang dengan selamat sampai ke rumahnya bersama dengan anak ini."

Ibu menatapku dengan tajam. "Pergilah! bawa anakmu! Jangan pernah kembali lagi ke sini. Aku takkan mengakuimu sebagai anak lagi!"

***

Hari ini langit sangat cerah.
Biru memesona. Sinar mentari menyemburat di antara celah-celah awan yang berarak.
Dengan segenap rasa di jiwa, kulangkahkan kaki meninggalkan kampung halamanku. Entah kapan dan bagaimana aku bisa kembali lagi ke sini. Hanya Allah yang tahu.
Yang harus kutempuh saat ini adalah mengarungi perjalanan panjang kembali ke rumah bersama Ammar.
Menjalani hidup menjadi seorang istri, seorang ibu dan seorang muslimah demi satu cinta, Cintaku kepada Allah.

Ramadhan kali ini, menjadi saksi bahwa Allah tak pernah meninggalkan hamba yang datang kepadaNya. 




Satu cinta, sebuah kisah pada Ramadhan 2 tahun yang lalu. Semoga Allah senantiasa melindungi beliau dan keluarganya. Trimakasih untuk sepenggal kisahmu, semoga semakin banyak hamba Allah yang meneguhkan cintanya pada agama ini. Sepertimu.

10 Sya'ban 1435H




No comments on "Satu Cinta"

Leave a Reply

Terimakasih telah membaca, semoga bermanfaat dan menginspirasi. Silahkan tinggalkan jejak anda di sini :D